TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan kondisi perekonomian global memang sedang menurun. Kondisi tersebut, menurut Bambang, tergambarkan saat dia menghadiri pertemuan G20 di Ankara, Turki. "Boleh dibilang mood tidak menyenangkan. Tidak ada satu negara pun yang bilang tahun ini ada harapan," kata Bambang saat rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin 7 September 2015.
Negara-negara yang hadir, ujar Bambang, sepakat pada 2015 ini tidak ada pertumbuhan perekonomian. Kondisi tersebut, ia menambahkan juga menerpa Eropa dan Jepang. "Kondisi ekonomi global berat," kata mantan Wakil Menteri Keuangan itu.
Dalam kondisi saat ini, kata Bambang, Amerika Serikat masih mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuan. International Monetery Fund menyarankan Negeri Abang Sam untuk merealisasikan rencana itu pada 2016. "IMF juga minta agar naikkan bunga tidak tinggi supaya tidak berdampak ke negara kecil," ujar Bambang.
Melemahnya kondis perekonomian global, Bambang mengatakan, juga mempengaruhi nilai jual komoditas. Ditambah lagi dengan rendah harga minyak mentah dunia. Harga komoditas ini pernah menyentuh US$ 40 per barel. "Kalau membaik pun sedikit."
Meski adanya rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan dan devaluasi yuan Cina, Bambang mengatakan IMF optimistis pertumbuhan di 2016 sebesar 3.8 persen. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2014 dan 2015. "IMF selalu pasang tinggi, tapi setelah itu diturunkan," ujarnya.
Edi Susianto, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia mengatakan pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan besar setelah dihantam krisis di tahun 2008. Edi menilai hal itu dikarenakan kurangnya persiapan untuk merespon shock dari dalam maupun luar negeri. “Pasar keuangan kita masih jauh dari posisi likuid, efisien, dan dalam,” katanya dalam Seminar Financial Deeping di Ritz Carlton, Jakarta, Senin 7 September 2015.
Struktur pasar bursa nasional pun dianggapnya masih tidak seimbang. Kurangnya supply terlihat dari hampir 80 persen pasar bursa diisi oleh spot market yang rentan akan guncangan. Sementara itu, transaksi antar bank juga masih didominasi oleh transaksi yang tidak aman. Hanya 15-20 bank yang tercatat telah berkomitmen mengembangkan transaksi REPO (Repurchase Agreement), sedangkan 100-an sisanya masih belum.
Bank Indonesia memiliki perhatian yang besar terhadap financial deeping. Ketidakseimbangan dalam supply tersebut menurut Edi menjadi tantangan bagi stakeholder terkait termasuk Bank Indonesia untuk memperkecil tingkat kerentanan pasar.
SINGGIH SOARES | GHOIDA RAHMAH