TEMPO.CO, Jakarta - Terus merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan sudah diantisipasi oleh pemerintah. Dalam rencana internal Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan terdapat anggaran untuk rencana buyback sebesar Rp 3 triliun. Hingga kini, anggaran tersebut sudah terpakai tiga kali dengan total transaksi Rp 1,4 triliun.
Tiga transaksi buyback ini dilakukan dalam waktu tiga pekan. Buyback pertama dilakukan pemerintah pada 12 Agustus lalu sebesar Rp 401 miliar. Kedua pada 21 Agustus sebesar Rp 500 miliar, dan yang terakhir 24 Agustus 2015 sebesar Rp 500 miliar.
“Kami enggak mau over-react ke masyarakat. Buyback ini supaya ada demand dan pertahankan harga,” kata Direktur Jenderal Pengeloaan Pembiayaan dan Resiko, Robert Pakpahan, di Kementerian Keuangan, Senin, 24 Agustus 2015. Dana antisipasi ini, menurut Robert, bisa saja naik atau turun tergantung kondisi pasar.
Saat ini kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara mencapai 38 persen. Hingga 20 Agustus 2015, investor asing yang menjual SBN mencapai Rp 1,47 triliun. Jumlah ini dianggap masih baik oleh Robert. Musababnya, masih ada aksi beli SBN yang cukup besar oleh investor asing.
Bukan hanya strategi buyback, Robert mengatakan, ia juga menjaga komunikasi dengan para dealer utama penjualnSBN. Jika diperlukan ia akan melakukan conference call dengan investor untuk menjaga kepercayaan. Ia juga bisa memilih mekanisme Bond Stabilization Framework.
Robert menekankan hingga saat ini kondisi masih cukup baik. Indikatornya adalah asumsi-asumsi fundamental ekonomi yang masih cukup terkendali. Asumsi-asumsi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaski berjalan, dan utang.
Pertumbuhan ekonomi hingga triwulan II 2015 masih positif 4,67 persen. Inflasi hingga akhir tahun diprediksi akan mencapai 4-4,5 persen.
“Ini masih bagus jika dibandingkan tahun-tahun lalu yang lebih dari itu,” kata Robert. Kondisi neraca transaksi berjalan juga terus menurun meski masih defisit. Utang pemerintah masih berada di angka 25 persen dari PDB. “Masih mantap itu, tapi ya memang harus dipahami pasar keuangan super sensitif.”
TRI ARTINING PUTRI