TEMPO.CO , Jakarta: Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan rencana membatasi impor garam sempat tidak disetujui oleh Kementerian Perdagangan. “Alasan Dirjen Daglu (Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri) membuat ekonomi biaya jadi tinggi,” ujar Susi di kantornya, Rabu, 5 Agustus 2015.
Susi menceritakan sekitar bulan April lalu, pihaknya mengadakan rapat bersama Kementerian Perdagangan, asosiasi impor garam, dan petani garam di kantor Kementerian Kelautan. Dalam rapat tersebut membahas mengenai swasembada garam dan rekomendasi Susi yang ingin menertibkan impor garam melalui satu pintu yaitu PT Garam dan asosiasi petani garam.
Namun, ketika menyampaikan hal tersebut, Partogi Pangaribuan yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan kini menjadi tersangka kasus dwelling time tidak menyambut baik rencana Susi. “Dirjen Daglu bilang katanya kalau satu pintu biaya ekonomi menjadi tinggi. Kenapa kebutuhan untuk hajat orang banyak tidak bisa? Bulog saja bisa satu pintu,” ujar Susi.
Dalam rapat tersebut, ujar Susi, tidak ada kesepakatan atau jalan keluar. Salah satu importir garam, PT Asahimas, pada saat itu juga bersikukuh agar kegiatan impor tak dibatasi. Sebab, kualitas garam produksi rakyat kadarnya masih jauh dari kualitas garam industri “Saya menyadari masalah itu, impor boleh tapi harus lewat PT Garam dan asosiasi petani garam,” ujarnya.
Menurut Susi dalam rapat yang berlangsung selama enam jam itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tak gubris oleh Kementerian Perdagangan dan asosiasi impor garam.” Hasil pertemuan sangat mengecewakan. Saya kecewa keinginan negara untuk kepentingan rakyat tidak diapresiasi.”.
Kekecewaan Susi semakin menjadi. Menurutnya, saat ini Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor garam. "Mereka malah mengizinkan kuota impor 1,5 juta ton per 30 Juni 2015," ujar Susi.
Menurut Susi, jika impor tak dibatasi, maka rencana dia untuk mencapai swasembada garam akan terus molor. Dia berharap agar Kementerian terkait dapat kembali membicarakan masalah pengetatan impor garam. "Pemerintah perlu duduk bersama bisa bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan dan supaya petani kita dapat bergairah," ujar Susi.
Langkah impor satu pintu ini pun dinilai Susi sebagai direkomendasi yang tepat. Masuknya garam industri ke pasar konsumsi menyebabkan harga jual garam lokal anjlok.
Saat ini, kata Susi, harga garam petani lokal hanya berkisar antara Rp 300 hingga Rp 350 per kilogram. "Importir menyerap garam lokal dengan harga murah dan dijual ke pasar jauh lebih tinggi Rp 1.250 sampai Rp 1.500 per kilogram. Ini jelas merugikan petani dan banyak orang." .
Menurut Susi, harga jual garam petani yang rendah ini, hanya akan membuat petani semakin tertekan dan gulung tikar. "Ini membuat petani kita jadi tidak bergairah. Kalau begini bagaimana bisa kita swasembada," ujar Susi.
DEVY ERNIS