TEMPO.CO, Jakarta - PT Pertamina (Persero) membukukan laba bersih US$ 570 juta per semester I 2015 ini. Tapi menurut Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto ada potensi keuntungan US$ 1 miliar atau Rp 12 triliun yang hilang karena pemerintah.
"Pemerintah menetapkan harga di luar kesepakatan dengan kami," kata Ahmad di kantornya, Rabu, 5 Agustus 2015. Menurut Dwi, kesepakatan seharusnya harga BBM khususnya Premium dilepas melalui mekanisme pasar sepenuhnya.
Dwi bisa memaklumi jika pemerintah ngotot mempertahankan harga Premiun sebesar Rp 7,300 sejak awal tahun demi mempertahankan daya beli masyarakat (inflasi). Padahal sejak awal tahun harga minyak kembali merangkak naik.
Karena itu Dwi berharap pemerintah tak menurunkan harga Premium pada saat harga minyak mulai turun saat ini untuk menutup defisit keuntungan Rp 12 triliun tadi. "Atau kami akan nego dengan pemerintah soal deviden nantinya."
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan Pertamina rata-rata merugi Rp 8 miliar per hari sejak periode April hingga Juli 2015. "Ada perbedaan harga Rp 1 ribu antara harga formula dan harga yang ditetapkan pemerintah," katanya.
Ahmad mengatakan ada 7 kali perubahan harga Premium, seluruhnya tidak sesuai dengan harga formula Pertamina. Pada tanggal 1 Januari pemerintah menetapkan harga Premium sebesar Rp 7,600 per liter sedangkan harga formula Pertamina sebesar Rp 7,800 per liter.
Tanggal 19 Januari premium ditetapkan Rp 6,700 dari Rp 6,750. Tanggal 1 Februari Rp 6,700 dari Rp 6,400. Tanggal 1 Maret Rp 6,900 dari Rp 7,150. Tanggal 28 Maret sebesar Rp 7,400 dari Rp 8,150. Tanggal 1 Juni ditetapkan Rp 7,400 dari Rp 9,200. Dan 1 Juli sebesar Rp 7,400 dari Rp 9,350.
Menurut Bambang, harga Premium menurut formula Pertamina adalah : cogm + ongkos kirim + biaya penimbunan (cogs) + margin spbu + iuran bp migas 3 persen + margin badan usaha 5 persen (di luar pajak). "Kalau mengikuti formula kami keuntungan bisa Rp 1,1 miliar setelah dipotong pajak 30 persen," katanya.
ANDI RUSLI