TEMPO.CO, Jakarta - Selasa dinihari, 28 Juli 2015, terminal peti kemas PT Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok lumpuh akibat aksi mogok karyawannya. Pemogokan pekerja PT JICT itu disulut pemecatan dua karyawan yang menolak perpanjangan kontrak PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II selaku pengelola JICT dengan Hutchison Whampoa.
R.J. Lino, Direktur Utama Pelindo II, berkeras melanjutkan kontrak pengelolaan JICT dengan induk usaha Hutchison Port Holdings (HPH), perusahaan milik konglomerat terkaya di Hong Kong, Li Ka-shing.
Kontrak itu sebenarnya baru akan berakhir pada 2019. Tapi, dengan alasan demi kepastian investasi, jauh-jauh hari Pelindo II sudah menawarkan perpanjangan kontrak kepada Hutchison. Pada Agustus tahun lalu, Pelindo bahkan mengumumkan telah mencapai kesepakatan untuk memperpanjang kerja sama dengan Hutchison hingga 2039. Kesepakatan itu mereka tuangkan dalam amendemen kontrak tertanggal 5 Agustus 2014.
Sikap keras Lino sebenarnya pernah diingatkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP mengingatkan Lino terkait dengan penunjukan langsung Hutchison. Dalam laporan pemeriksaan 6 November 2012, Lino diminta mengkaji secara hukum masalah ini. Sebab, pada 1999, Hutchison ditetapkan sebagai mitra Pelindo II melalui proses lelang.
Lagi-lagi, Lino menampik jika dituding main tunjuk langsung. Dia bercerita, setelah meneken amendemen dengan Hutchison, ia menyodorkan dokumen itu ke PSA Singapura, DB World Dubai, APM Terminals Maersk Belanda, dan China Merchants Group.
Lino mengklaim tak satu pun dari para operator pelabuhan besar itu sanggup memberikan tawaran lebih baik. Dia mengatakan sengaja melakukan tender tertutup setelah ada tawaran Hutchison dengan alasan etika. ”Tidak sopan langsung main tender. Saya mesti permisi dulu kepada Hutchison," kata Lino.
KHAIRUL ANAM