TEMPO.CO, Jakarta - Kalimantan Barat memiliki potensi kehilangan dana bagi hasil dari sektor pertambangan pada 2014 mencapai Rp 44 miliar.
Peneliti Swandiri Institute Pontianak, Arif Munandar, mengatakan nilai tersebut memang masih lebih baik dibandingkan dengan potensi kehilangan DBH pada 2013, yang mencapai Rp 88 miliar. “Pasca-koordinasi supervisi (korsup), Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan adanya potensi kerugian negara pada 2014 hingga Rp 44 miliar,” kata Arif, Jumat, 26 Juni 2015.
Dia mengatakan perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan Barat, sebelum adanya korsup KPK, tidak membayar DBH kepada pemerintah pada 2012 mencapai Rp 72 miliar. Artinya, Arif melanjutkan, terjadi penurunan potensi kerugian negara sejak adanya korsup KPK yang meminta pemerintah daerah mengecek keberadaan perusahaan tambang di Kalimantan Barat
Dia mengatakan, pada 2014, ada iktikad baik dari perusahaan tambang untuk membayar kewajiban kepada pemerintah seiring dengan desakan dari KPK. Kendati demikian, berdasarkan data dari Kementerian Keuangan tersebut, menurut dia, perusahaan yang melakukan pembayaran DBH kepada pemerintah masih kecil walau terjadi peningkatan kewajiban tersebut dari perusahaan-perusahaan tambang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Pada 2012, realisasi dana bagi hasil Rp 10,8 miliar; pada 2013 sebesar Rp 24,90 miliar; dan pada 2014 sebesar Rp 72,85 miliar,” ujarnya.
Sedangkan dari luas izin yang diberikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, kata Arif, berkurang sedikit dari posisi 6,5 juta hektare pada 2012 menjadi 5,3 juta hektare, dan masih ada 628 izin konsesi pertambangan di provinsi ini.