TEMPO.CO, Semarang - Negara Cina dinilai menjadi ancaman dalam perdagangan produk ekspor asal Jawa Tengah. Tercatat Jawa Tengah telah mengalami ketergantungan produk dari negara itu hingga 41 persen.
“Bukan hanya Asean tapi impor barang di Jateng didominasi Cina,” kata Kepala Kantor Bank Indonesia Jateng dan DIY, Iskandar Simorangkir, saat pertemuan forum ekonomi bisnis Jawa Tengah, Kamis 4 Juni 2015.
Iskandar mencatat nilai ekpor Jateng meningkat, namun dominasinya justru banyak ke Amerika dengan total prosentase mencapai 25 persen. Sedangkan ke Eropa 19 persen dan Cina hanya 10 persen. “Artinya Jateng masih kalah jauh dari Cina yang justru banyak mengirim bahan baku ke sini,” kata Iskandar menambahkan.
Kondisi itu membuktikan ekonomi Jateng bisa tumbuh karena didukung oleh industri pengolahan yang mencapai 35 persen. Namun secara ekonomi saat ini mengalami perlambatan pertumbuhan dari 6,2 persen menjadi 5,5 persen.
Indikator melemahnya pertumbuhan ekonomi itu diukur dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dari 3,95 naik 4,200. “Masyarakat Jateng bahkan mengunakan sebagian dari tabungan rumah tangga untuk konsumsi,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama Deputi Guber Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyebut, sikap pemerintah Cina sengaja melemahkan ekonominya berpengaruh pada ekpor Indonesia melambat dan masih mengalami devisit. “Melemahkan ekonomi itu akibat kesadaran lingkungan dan program keseimbangan dengan alam di negara itu,” kata Mirza.
Sikap negara Cina itu menjadi salah satu penyebab melemahnya ekonomi Indonesia selain rencana bank central Amerika yang sudah menginformasikan suku bunga akan naik.
“Saat ini suku bunga Bank Sentral Amerika 0,25 persen akan dinaikan ini membuat sejumlah investor pasar global mengurangi investasi di negara berkembang termasuk Indonesia,” katanya
Meski ekonomi naisonal melambat, Mirza masih yakin saat ini devisit ekpor impor barang dan jasa sudah kembali membaik, namun ia menyebutkan masih sulit untuk surplus. Tercatat devisit ekspor impor Indonesia US$ 26-27 miliar dolar, kondisi itu membuat pemerintah mengendalikan devisit dengan cara mengurangi subsidi bahan bakar minyak.
EDI FAISOL