TEMPO.CO, Jakarta - Bulog Divre Jawa Timur mengaku kesulitan menyerap beras pada tingkat petani karena kalah bersaing dengan swasta yang berani membeli beras petani dengan harga di atas ketentuan pemerintah atau harga pembelian pemerintah (HPP). "HPP itu tidak sebanding dengan harga pembelian pedagang atau tengkulak, sehingga kami harus berebut pasokan dari petani," kata Kepala Bulog Divre Jatim Witono di Malang, Selasa, 19 Mei 2015.
Witono menjelaskan selama ini Bulog hanya membeli beras dengan kualitas medium. Sedangkan swasta membeli semua jenis beras milik petani, termasuk kualitas premium. Swasta mau menampung semua jenis beras petani dengan harga di atas HPP. Konsekuensinya, petani lebih memilih menjual berasnya kepada pihak swasta daripada Bulog.
"Harga pembelian swasta yang lebih tinggi juga berdampak pada mitra kerja Bulog. Jumlah mitra kerja kami berkurang dibanding tahun lalu," ujarnya. Witono menyebutkan, pada 2014, mitra kerja Bulog Jatim sebanyak 375 kelompok. Tahun ini menyusut menjadi 282 kelompok. Bulog tak punya pilihan selain mengoptimalkan jaringan untuk menyerap beras agar stoknya aman.
Selain itu, Bulog mengoptimalkan peran satgas yang berjumlah 35 personel untuk mengawasi stok maupun harga beras di pasaran. Dan, saat ini masyarakat tidak perlu khawatir karena stok beras aman hingga tujuh bulan ke depan.
"Masyarakat tidak perlu khawatir akan kekurangan stok beras, terutama saat Ramadan dan Lebaran karena cadangan beras kita cukup melimpah, bahkan hingga akhir tahun. Stok beras yang ada di gudang saat ini mencapai 309 ribu ton, dan Juli-Agustus mendatang masih ada panen," ucapnya.
Pengadaan beras Bulog Jatim mengandalkan sejumlah daerah yang menjadi sentra (lumbung) beras, seperti Bojonegoro, Ngawi, Jombang, Lamongan, Mojokerto, maupun Kabupaten Malang. Hasil panen petani di Jatim tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan warga di provinsi itu, tapi juga hampir semua provinsi di Tanah Air.
ANTARA