TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyoroti lonjakan utang luar negeri swasta selama enam tahun terakhir, yakni dari US$ 66 miliar pada 2009 menjadi US$ 160 miliar pada kuartal keempat 2014.
Meskipun utang luar negeri swasta melonjak, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo tak lantas melarang swasta meminjam valuta asing. Ia hanya mengimbau swasta agar lebih berhati-hati.
“BI mengatur agar utang luar negeri dikelola sehat dan minimum. Ada rating, hedging ratio, dan minimum liquidity,” kata Agus di sela acara peluncuran buku Kajian Stabilitas Sistem Keuangan, Jumat, 8 Mei 2015.
Selain indikator ataupun rasio yang menjadi perhatian, bank sentral terus mengeluarkan kebijakan untuk mengelola pasar keuangan. Lonjakan utang luar negeri swasta ini pulalah yang menjadi perhatian kalangan pemodal. Ini tecermin dari lesunya pergerakan nilai tukar rupiah.
Ditambah pelemahan ekonomi global, hal itu akhirnya memukul cadangan devisa Indonesia per April 2015 menjadi US$ 110,9 miliar atau turun dibanding posisi akhir bulan sebelumnya, US$ 111,6 miliar. Anjloknya cadangan devisa ini, menurut Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs, dipicu oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah.
Meski begitu, posisi cadangan devisa per akhir April lalu cukup untuk membiayai 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. “Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” tutur Peter.
TRI ARTINING PUTRI |PRAGA UTAMA