TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memutuskan menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) nonformal, khususnya pembantu rumah tangga, ke Timur Tengah pada akhir 2018. Tingkat kekerasan yang tinggi dan rendahnya upah menjadi alasan utama keluarnya kebijakan yang menyangkut 21 negara Timur Tengah ini.
"Gaji di sana Rp 3 juta. Toh, di sini menyentuh Rp 2,7 juta," ujar Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat, 8 Mei 2015.
Menurut Hanif, perlindungan hukum yang diterima TKI di Timur Tengah juga sangat minim. Kementerian Tenaga Kerja akan memperketat prosedur pengiriman TKI dengan membentuk satuan tugas prosedural.
"Sebagai gantinya, pemerintah akan mencanangkan berbagai kebijakan terkait dengan pemerataan penyaluran tenaga kerja dalam negeri," katanya.
Program kewirausahaan dan pembenahan bursa tenaga kerja di daerah, ucap Hanif, akan digalakkan. "Misalnya kami akan latih orang Jawa Timur ke Kalimantan Timur untuk mengisi sektor pertanian dan properti."
Hanif menambahkan, pihaknya juga akan berupaya menjalin kerja sama dengan kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. "Agar urusan tenaga kerja tak dimonopoli oleh Kementerian Ketenagakerjaan."
Di tempat yang sama, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah akan melatih tenaga kerja nonformal agar menjadi tenaga kerja formal. Dengan menjadi tenaga kerja formal, mereka akan mendapatkan perlindungan, kehormatan, dan nilai lebih.
Namun, menurut Sofyan, pemerintah juga tidak akan mengirimkan tenaga kerja formal ke Timur Tengah. "Timur Tengah paling tak bagus memperlakukan tenaga kerja migran," katanya.
ANDI RUSLI