TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat meminta PT Pertamina (Persero) menunda pemasaran bahan bakar minyak jenis baru yang diberi nama pertalite. Sejumlah anggota Komisi beralasan, pertalite belum tersosialisasi dengan baik dan masih banyak persepsi salah di masyarakat yang menganggap bahan bakar minyak ini akan menggantikan Premium.
Ketua Komisi Energi Kardaya Warnika meminta Pertamina mengkaji ulang rencana peluncuran pertalite. Kalau pun pertalite tetap dipasarkan, jangan sampai kuota atau volume Premium berkurang. Penjualan pertalite di setiap SPBU juga tidak boleh memakai dispenser dan nozzle Premium, sehingga jangan sampai akses masyarakat terhadap Premium berkurang.
DPR, Kardaya menegaskan, menolak dengan keras jika keberadaan pertalite mengganggu ketersediaan Premium karena Premium ini yang paling murah dan paling banyak dipakai masyarakat. Jika ada gangguan terhadap Premium, dia khawatir akan terjadi gejolak pada masyarakat. "Kami meminta kajian dampak pertalite terhadap masyarakat dan lingkungan diselesaikan dan dilaporkan kepada kami sebelum diluncurkan."
Anggota Komisi dari Fraksi Gerindra, Katherine A. Oendoen, mengatakan, pertalite jangan terburu-buru dipasarkan. "Kami khawatir saat diluncurkan masyarakat menyangka Premium habis, sehingga berdampak kepada kenaikan harga kebutuhan pokok," kata Katherine dalam rapat dengar pendapat bersama Direksi Pertamina di Senayan, Rabu, 22 April 2015. "Sosialisasinya harus lebih intensif supaya tidak menyusahkan masyarakat."
Anggota dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Mercy Chriesty Barends mempertanyakan dasar Pertamina meluncurkan produk baru. "Soalnya dalam pembahasan APBNP kemarin, pertalite ini sama sekali tak muncul," ujarnya. Anggota Dewan, dia menambahkan, perlu mengetahui rincian biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk memproduksi pertalite. "Uangnya dari mana?"
Sedangkan Inas Nasrullah Zubir dari Fraksi Hanura menyampaikan bahwa BBM dengan nilai oktan (RON) 90 ini dasarnya belum jelas karena tidak diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 48 Tahun 2005 tentang Standar Mutu BBM. Peraturan ini, menurut Inas, hanya mengatur jenis BBM solar, Premium, dan Pertamax.
Inas juga menyoroti bahan baku pertalite, yakni naphta dan HOMC. “Kedua bahan ini biasa dipakai buat Pertamax, lalu buat pertalite bahannya pakai dari mana?" Selain itu, menurut dia, untuk Mei nanti Pertamina belum melaporkan penambahan impor HOMC. Sedangkan bahan naphta yang diproduksi di dalam negeri seluruh volumenya masih diarahkan untuk ekspor. "Kenapa naphta-nya tidak dipakai Pertamina saja?"
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto berkali-kali membantah bahwa pertalite akan menggantikan Premium. "Tidak benar, Premium tetap ada," katanya. Berdasarkan masukan-masukan dari para legislator, Dwi akan mempertimbangkan kembali rencana peluncuran pada awal Mei nanti.
Pada Mei nanti, Pertamina akan memperkenalkan BBM baru yang dilabeli pertalite. Bahan bakar dengan nilai oktan 90 ini dirancang untuk kendaraan bermotor produksi terbaru.
Menurut Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang, pertalite cocok buat mesin yang kompresinya di atas sembilan, seperti Daihatsu Xenia, Toyota Avanza, Honda Mobilio, dan sejumlah mobil murah ramah lingkungan (LCGC) lainnya. pertalite rencananya dijual dengan harga Rp 8.000-8.300 per liter. Lebih mahal dibandingkan Premium, tapi lebih murah dari Pertamax.
Bambang memastikan Pertamina akan meluncurkan pertalite jika memang semuanya telah siap. Untuk produksi Pertamina menggunakan stok minyak RON 92 yang biasa digunakan untuk Pertamax, sehingga memang belum ada penambahan impor minyak untuk produksi pertalite. Untuk tahap awal, karena pertalite tidak dijual serentak di seluruh kota, volume produksinya pun tidak akan terlalu besar. "Kecuali kalau nanti konsumsinya naik."
Bambang menambahkan peluncuran pada Mei itu hanyalah target awal. "Kami belum selesai melakukan kajian, terkait volumenya berapa, dan bakal seberapa besarnya berdampak kepada Premium belum kami ketahui," ujarnya. Pengurangan volume konsumsi Premium akan terjadi secara alamiah jika konsumen nantinya beralih dari Premium ke pertalite.
PRAGA UTAMA