TEMPO.CO, Bandung - Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Reydonyzar Moenek menyatakan pemerintah sedang mengkaji untuk memberi lampu hijau atas rencana penerbitan obligasi daerah oleh pemerintah Jawa Barat. Uangnya akan digunakan untuk mengembangkan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kerjati, Majalengka.
Sejumlah provinsi berencana menerbitkan obligasi daerah, diantaranya Kalimantan Timur, DKI Jakarta, serta Jawa Barat. "Kemungkinan Jawa Barat yang pertama menerbitkan obligasi daerah kalau ini kita sepakat di tingkat pemerintah antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta OJK," kata dia.
Menurut Dony, pemerintah mendukung rencana daerah yang hendak menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah yang dibolehkan oleh undang-undang. "Kami hormati itu, tapi tetap dengan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi terkait suku bunga dan efektivitas, kami akan mencermati laporan keuangan pemda," kata dia.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, akan membatalkan rencana penerbitan obligasi daerah jika ketentuan suku bunganya terlalu tingi. "Kalau terlalu tinggi kami akan mundur. Kalau memberatkan APBD masalah juga," kata dia di Bandung, Kamis, 16 April 2015.
Aher, sapaan Ahmad Heryawan, mengatakan, pemerintah provinsi sudah mengirim proposal pada pemerintah soal rencana penerbitan obligasi daerah. "OJK juga memantau proposal obligasi Jawa Barat, ya dan tidaknya tergantung hasil penilaian proposal kita. Salah satu kajian tadi adalah suku bunga, jangan sampai memberatkan ABPD," kata dia.
Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Pemerintah Jawa Barat Sri Mulyono mengatakan, pemerintah povinsi berencana menerbitkan obligasi daerah dengan nilai seluruhnya menembus Rp 4 triliun dalam jangka waktu 10 tahun.
Sri mengatakan, duit penjualan obligasi daerah itu akan dipakai untuk pengembangan bandara internasional di Kertajati, Majalengka. Nilai obligasi perdana yang akan dilepas ke publik, berbantung Busssiness Plan pengembangan bandara itu.
Menurut Sri, ketentuan suku bungan obligasi saat ini mengacu pada SBI yang diterbitkan Bank Indonesia. "Untuk obligasi daerah idealnya di bawah SBI, di bawah 8 persen," kata dia. "Kalau di atas itu, tak usah menerbitkan obligasi karena persyaratannya rumit."
Sri mengatakan, penerbitan obligasi daerah sudah molor setahun dari rencana semula pada 2014 lalu. Salah satu kendalanya, menunggu kepastian pelaku audit keuangan pemerintah daerah. "Kami mengharapkan oleh BPK, tapi OJK minta dari akuntan publik," kata dia.
Dony melanjutkan, pemerintah sedang menggodok ketentuan soal suku bunga untuk penerbitan obligasi daerah. "Kami akan duduk bareng dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," kata dia di Bandung, Kamis, 16 April 2015.
Dony, sapaan Reydonyzar Moenek, mengatakan, suku bunga menjadi salah satu pertimbangan Kementerian Dalam Negeri untuk memberi rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi daerah. "Kami ingin nilai betul, berapa tingkat suku bunga yang paling capable, yang paling mungkin dilakukan dalam rentang waktu pembayaran," kata dia.
Salah satu kesepakatan dalam pertemuan itu soal pelaksanaan audit keuangan pemerintah daerah yang hendak menerbitkan obligasi daerah oleh akuntan publik atau BPK. "Tetap oleh BPK, itu persoalan teknis. Kemarin tercapai kesepakatan, itu tidak jadi persoalan," kata Dony.
Menurut Dony, soal pencermatan bunga muncul dalam pembahasan terakhir bersama Kementerian Keuangan, OJK, BPK, serta DPD saat membahas soal efektivitas penerbitan obligasi daerah. "Kami akan mengawalnya hati-hati karena kami akan menghindari terjadinya potensi default, atau gagal bayar. Itu yang kami jaga," kata dia.
Selain suku bunga, pemerintah juga tengah menghitung DSCR (Debt Service Coverage Ratio) yang wajib dipenuhi sebagai persyaratan penerbitan obligasi daerah. Kemendagri, kata Dony, memiliki kewenangan mengevaluasi Rancangan Perda APBD, dan tingkat kemampuan pengembalian utang yang muncul dalam pembiayaan di APBD.
AHMAD FIKRI