TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai penerbangan Lion Air sedang dalam sorotan. Kasus delay berhari-hari yang terjadi sejak Rabu, 18 Februari 2015 pekan lalu membuat sejumlah pihak mempertanyakan kinerja Lion Air. Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lion Air merupakan maskapai yang paling banyak diadukan sepanjang 2014 lalu.
"Lion Air itu ranking satu dari pengaduan penerbangan. Mulai dari delay, bagasi yang hilang, refund tiket yang lama, dan transfer penumpang yang tidak jelas," kata Ketua YLKI Tulus Abadi kepada Tempo, Sabtu, 21 Februari 2015.
Menurut Rusdi Kirana, penerbangan Lion Air banyak yang delay karena frekuensi terbang yang sangat tinggi. Berikut ini kami turunkan bagian kedua wawancara eksklusif Tempo dengan Rusdi Kirana, pemilik Lion Air. Dalam dua kesempatan yang berbeda, Rusdi menjawab tentang seringnya pesawat Lion Air mengalami delay. Wawancara ini dimuat di dua edisi: 4 Desember 2011 dan 23 Juni 2013.
Angka keterlambatan terbang Lion Air masih tinggi, bagaimana Anda mengatasinya?
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keterlambatan pesawat. Lion Air dianggap banyak delayed karena frekuensi terbangnya paling tinggi. Untuk mengatasinya, kami memperpanjang estimated time departure dan estimate time arrival di bandara. Lalu kami mempersiapkan pesawat cadangan. Ini semua memakan biaya. Tapi tidak apa-apa untuk perbaikan produk.
Kenapa perbaikannya lamban sekali?
Ada perubahan zaman yang tidak kami ikuti. Pada saat kami membangun maskapai ini (tahun 2000), bandara masih lengang. Ground time (waktu menunggu dari mendarat hingga terbang lagi) per pesawat sekitar 30 menit dan taxi-nya 10 menit, jadi total 40 menit. Dulu itu cukup. Belakangan ada begitu banyak pesawat hingga waktu itu tak cukup lagi. Sejak dua bulan ini kami menambah ground time menjadi 55 menit. Check in counter, yang dulu 5-10 menit sebelum penerbangan masih buka, kini 30 menit sebelum terbang sudah ditutup. Hasilnya, dalam dua bulan ini OTP (on time performance) Lion 82 persen dan Batik 93 persen.
Dengan lalu lintas yang ada sekarang saja bandar udara seperti Soekarno-Hatta di Cengkareng sudah kewalahan. Lalu Anda menambah pesawat begitu banyak. Mau ditampung di mana?
Angkasa Pura kan sedang merenovasi banyak bandara, dari Medan, Bali, sampai Cengkareng. Selain itu, tahun ini kami akan menjadikan Batam sebagai hub penerbangan kami. Pesawat dari kota-kota di Indonesia dipusatkan ke Batam, lalu dari sana penumpang bisa terbang ke Hong Kong, Kanton, dan kota di luar negeri lainnya. Untuk ke negara-negara di Timur seperti Jepang, hub-nya di Manado.
Di Batam, kami juga membangun maintenance facilities di tanah seluas 28 hektare. Akhir tahun ini hanggarnya bisa menampung 12 pesawat. Nanti akan kami tingkatkan, bisa melayani 40 pesawat yang akan diperbaiki atau dirawat. Kemudian saya bangun engine shop, landing gear shop, komponen yang berteknologi tinggi.
Kami mendengar kabar bahwa pilot asing, terutama junior, memang membidik maskapai Indonesia dengan rute sangat banyak, seperti Lion Air. Mereka bersedia dibayar murah demi menambah jam terbang?
Tidak benar mereka dibayar murah. Pilot itu dibayar US$ 4.500 dan untuk kopilot US$ 3.500-4.500 per bulan. Pilot Indonesia juga sama. Tapi, kalau urusan mencari jam terbang, itu hak mereka.
Beberapa waktu lalu Kementerian Perhubungan meng-grounded pilot-pilot yang terlalu sering terbang, termasuk pilot Lion Air. Bukankah itu artinya Anda masih kekurangan pilot?
Pilot kami juga ada yang terkena sanksi itu. Kebanyakan mereka kelebihan jam terbang karena masalah cuaca, pesawat telat, akhirnya jam terbang terakumulasi. Yang tidak boleh terjadi adalah jika masalah itu disebabkan oleh sistem.
Pesawat Lion Air juga kerap tergelincir di landasan....
Untuk mencegah insiden di bandara, Boeing 737-900 ER sudah kami lengkapi dengan perangkat smart landing. Kokpit akan berbunyi jika pesawat tidak stabil saat hendak mendarat. Diharapkan itu bisa mengurangi angka kecelakaan hingga menjadi nol persen.
Pesawat Lion Air sering jatuh, apakah itu bukan indikasi perawatan yang kurang?
Saya tak mau dibilang mengingkari, tapi kami tidak pernah mengurangi anggaran maintenance. Selama ini kami menyewa hanggar milik Angkatan Laut di Surabaya, bekerja sama dengan Garuda Maintenance Facilities, bahkan mengirim mesin kami ke Singapore Technologies Aerospace atau ke Jerman untuk perawatan dan perbaikan. Saya tidak mungkin mendapat pendanaan dari banyak bank kalau tidak memenuhi kewajiban tersebut. Mereka pasti mengaudit kami.
Kecelakaan terakhir di Bali memperpanjang daftar musibah maskapai Anda. Sebelumnya, Desember tahun lalu, pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Supadio, Pontianak.
Kalau kami dianggap sering mengalami kecelakaan, itu lebih disebabkan oleh banyaknya frekuensi penerbangan. Dalam satu hari kami terbang 700 kali. Tak hanya di kota besar, tapi juga di remote area. Dengan frekuensi banyak ini otomatis lebih banyak masalah yang tampak. Namun, bukan berarti kami tak memperbaiki kekurangan atau bahkan menganggap diri kami tanpa persoalan.
Bagaimana dengan perawatan pesawat dan pasokan pilot?
Kami memiliki Wings Lion Flying School. Sekolah pilot ini memiliki tiga pesawat Cessna dan akan menjadi tujuh unit hingga akhir tahun. Lion Air pun sedang membangun fasilitas perawatan pesawat di Bandara Hang Nadim, Batam, sebagai ganti di Manado yang sempat bermasalah.
TIM TEMPO