TEMPO.CO , Surakarta: Isu mobil nasional kembali mencuat setelah Proton Holdings Bhd menandatangani nota kesepahaman dengan PT Adiperkasa Citra Lestari, perusahaan yang dipimpin mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Mahmud Hendropriyono, untuk mengembangkan dan membangun pabrik mobil di Indonesia.
Nota kesepahaman yang ditandatangani Jumat, 6 Februari 2015 itu menyebutkan dalam enam bulan ke depan akan dilakukan studi kelayakan untuk mendetailkan kerja antara kedua perusahaan, termasuk potensi pengembangan dan pembangunan pabrik mobil di Indonesia.
Indonesia sebenarnya sudah lama punya mimpi-mimpi tentang mobil nasional atau mobnas itu. Sayangnya, cita-cita itu belum terwujud sampai sekarang. Tengoklah di Surakarta saat ini yang pernah mencuat dengan calon mobnas Esemka. Solo Technopark sekarang sudah tak seramai dulu. Tak ada lagi bunyi tempaan logam, raungan mesin, dan ingar-bingar warga yang menonton manuver kendaraan yang sedang diuji. Di dalam gedung cuma tersisa dua mobil Esemka Rajawali, dengan kilau cat hitam yang hampir memudar.
Area seluas 7,5 hektare di Jalan Ki Hajar Dewantara, Jebres, Solo, itu sekarang sepi lantaran penghuni utamanya, PT Solo Manufaktur Kreasi, sudah hengkang. Juru bicara Solo Manufaktur Kreasi, Sabar Budi, mengaku terpaksa pindah setelah produksi Esemka berhenti.
Produksi Esemka, yang sempat disebut-sebut sebagai calon mobnas itu, dihentikan lantaran mobil itu kandas di pasar. Menurut Sabar, pesanan Esemka hanya datang dari sekolah kejuruan yang butuh mobil untuk praktek. Pesanan dari konsumen biasa nihil. Sabar pun tak ingat sudah berapa unit Esemka yang dia jual. “Mungkin 500,” kata dia kepada Tempo. Lantaran minimnya sokongan, mungkin sebentar lagi Esemka tinggal nama.
Kendala yang sama juga dihadapi PT Fin Komodo Teknologi, produsen mobil Fin Tawon dan Fin Komodo. Perusahaan yang bermarkas di Bandung ini sulit mengembangkan produksi massal karena minimnya pasar dan dana yang cekak. Padahal, Fin Komodo dan Fin Tawon mungkin layak disebut sebagai mobil nasional, lantaran proses produksi dan teknologinya murni dari dalam negeri. “Pemerintah diam-diam saja, tidak ada dukungannya,” ujar Koordinator Pemasaran Fin Komodo Teknologi, Dewa Yuniardi.
Dewa mengakui bahwa produknya kalah bersaing dengan merek Jepang yang sudah bercokol di Tanah Air sejak empat dekade lalu. Agar bisa bertahan, kata Dewa, Fin berupaya membentuk segmen pasar khusus. Fin Tawon, misalnya, mengincar pasar kendaraan niaga di pedesaan.
Adapun Fin Komodo, yang dirancang sebagai kendaraan off road, menggandeng instansi militer. Namun, kendala klasik tetap menghantui merek dagang ini. Untuk produksi massal, Fin harus bergantung pada pasar dan penetrasi pasar pun butuh biaya besar. “Siklusnya di situ-situ saja,” kata Dewa di Bandung.
AHMAD RAFIQ (SOLO) | DEWI SUCI RAHAYU | ANDI RUSLI