TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan banyak kapal yang dimanipulasi untuk bisa menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau. “Banyak kapal yang di-mark down,” ujar Susi saat diskusi dengan TNI AL dan pemerintah daerah di kantornya.
Susi menjelaskan banyak kapal di atas 300 gross ton dimanipulasi bobotnya hingga menyusut sampai 25 gross ton. Sebab, kapal yang bobotnya di bawah 30 gross ton mengurus perizinan surat izin penangkapan ikan (SIPI) melalui pemerintah daerah, bukan ke pusat. “Karena di beberapa daerah masih ada yang memperbolehkan penggunaan trawl,” ujar Susi. Daerah yang masih banyak ditemukan penggunaan trawl di antaranya Rembang, Pati, dan Juana. (Baca: Menteri Susi Beri Transisi Aturan Larangan Pukat)
Akibat penggunaan trawl ini, menurut Susi, banyak nelayan yang sulit mendapatkan ikan. Dengan demikian, untuk mendapatkan ikan, nelayan dari suatu daerah harus mencari ke perairan yang masih banyak ikannya. Hal ini memicu timbulnya konflik horizontal. Nelayan dari Pantura mencari ikan ke Kalimantan, lalu dikejar sama nelayan Kalimantan, akhirnya terjadi konflik.
Larangan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Namun aturan itu, menurut Susi, tidak diindahkan dan banyak yang melanggar. (Baca: Susi Larang Trawl, Nelayan Minta Masa Transisi)
Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Susi berharap bisa meyakinkan masyarakat bahwa penggunaan trawl berbahaya bagi kelangsungan sumber daya laut. “Sumber daya laut ini harus kita jaga bersama, akan dapat dinikmati anak-cucu kita,” ujar Susi. (Baca: Menteri Susi Tangkap 2 Kapal Trawl Lagi)
DEVY ERNIS