TEMPO.CO, Jakarta: Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro menilai masalah gula nasional saat ini bukan soal impor atau tidak impor. Tapi, tidak adanya kontrol dan koordinasi yang baik antarkementerian, terkait dengan alokasi impor gula rafinasi dan pengawasan penggunaannya. (Baca: Jusuf Kalla: Pemerintah Tetap Akan Impor Gula)
Dampak dari lemahnya kontrol dan koordinasi itu, ia menambahkan, terjadi impor secara besar-besaran gula rafinasi. "Lebih-kurang 4,5 juta ton yang diimpor pada 2013," kata Ismed kepada Tempo, Sabtu, 6 Desember 2014. (Baca: Stop Gula Impor, Jusuf Kalla: Mau Pakai Gula Apa?)
Gula rafinasi itu, kata dia, dijual bebas secara masif kepada konsumen rumah tangga, tanpa tindakan dari kementerian terkait. Padahal, berdasarkan ketentuan, gula rafinasi hanya untuk konsumsi industri makanan dan minuman. (Baca: Petani Minta Jokowi Stop Impor Gula dan Garam)
Ia mengungkapkan, pada 2013-2014 gula rafinasi impor telah menguasai pasar gula nasional. Hal itu menyebabkan gula tebu petani tertahan di gudang pabrik gula. Sampai akhir Desember 2014 diperkirakan masih ada sekitar 1,2 juta ton gula tebu yang tersimpan di gudang pabrik gula karena belum laku.
Akibatnya, BUMN produsen gula tebu dan petani tebu harus menanggung kerugian Rp 2,5 triliun lebih pada 2014. Sedangkan industri perbankan terimbas kredit macet terkait dengan perdagangan gula tebu setidaknya Rp 12,5 triliun.
"Jika ini dibiarkan, maka petani tebu akan terbantai di ladang tebunya. Dan industri gula tebu akan semakin banyak yang tutup karena tidak ekonomis untuk berproduksi."
MARIA YUNIAR
Terpopuler:
Jokowi, Presiden Pertama yang Perintahkan Tenggelamkan Kapal
Puncak Produksi Blok Cepu September 2015
Pemanfaatan Bioetanol Terkendala Infrastruktur