TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan semua pihak yang menghalalkan produk yang terbukti haram dapat dipidana. Ancaman pidana itu tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. (Baca: Presiden IFANCA Bicara Soal Sertifikat Halal)
Peraturan tentang sertifikasi halal di Indonesia, menurut Tulus, masih bersifat sukarela. Artinya, produsen tak wajib membuat produk halal. “Sebaliknya, kalau sudah menyatakan halal, harus ditepati,” kata Tulus saat dihubungi pada Rabu, 6 Agustus 2014. (Baca juga: MUI Halalkan Sapi Nonhalal dari Australia)
Selama ini, untuk mengajukan sertifikasi halal kepada MUI, produsen bisa dikenai biaya mulai Rp 0 hingga Rp 5 juta. Pembayaran itu umumnya digunakan untuk biaya auditor. Bagi produsen besar, angka tersebut mungkin saja bisa dijangkau, tapi bagi produsen kecil akan terasa berat. “Kabarnya akan ada subsidi untuk sertifikasi halal untuk produsen kecil dari Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro dan Kecil Menengah,” katanya. (Baca: MUI Terima Fee Label Halal dari Chicago)
Seperti dikutip dari majalah Tempo edisi Senin, 4 Agustus 2014, auditor Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Makanan (LPPOM) MUI menyarankan agar kulit sapi yang diproses tak halal di pejagalan Rockhampton, Australia, mendapat sertifikat halal. Hal itu terungkap dari dokumen audit yang dibuat Hendra Utama dalam auditnya pada Mei 2012. (Baca: Terafiliasi MUI, HFCE Halalkan Vaksin Babi)
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia menerima fee dari bisnis sertifikasi label halal oleh Islamic Food and Nutrition of America di Chicago, Amerika Serikat. Besarnya komisi itu mencapai 40 persen dari tiap label yang dikeluarkan IFANCA untuk perusahaan makanan dan minuman di benua tersebut.
Adanya pemberian komisi 40 persen dari lembaga sertifikasi internasional kepada MUI, menurut Tulus, tak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Musababnya, pejabat MUI bukanlah pejabat publik. Walaupun tak bisa dijerat secara hukum, pemberian komisi kepada MUI seharusnya menjadi beban moral, apalagi urusan halal dan haram merupakan isu sensitif di Indonesia. Selain itu, pemberian komisi bisa menaikkan beban biaya produsen yang akhirnya akan memberatkan konsumen.
LPPOM MUI sebenarnya memiliki kerja sama dengan pemberi sertifikat luar negeri. Kerja sama tersebut memungkinkan MUI mengkroscek ulang sebuah produk halal sebelum diedarkan. “Tapi dengan adanya pemberian komisi dikhawatirkan pengecekan ulang diabaikan,” ujarnya. Untuk itu, secara teknis seharusnya ada auditor selain dari MUI.
FAIZ NASHRILLAH
Berita Terpopuler
Polisi Tolak Laporan Fadli Zon Soal Ketua KPU
Sidang MK, Prabowo Bakal Pidato Soal Kecurangan
400 Advokat Prabowo Versus 200 Pengacara Jokowi
Ainun Najib: Next Project, Kawalpilkada.org
Jelang Sidang di MK, KPU Dapat Penghargaan
Gerindra: Pansus Pilpres Setelah 15 Agustus