TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin optimistis bisa memenangi sengketa investasi melawan Churchill Mining Plc di badan arbitrase Internasional Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Sampai saat ini, kata dia, Chuchill Mining belum menunjukkan bukti otentik atas hak investasi pertambangan di Indonesia.
"Bagaimana dia bisa menggugat satu hal, tapi tak ada pegangan," kata Amir ketika ditemui di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Karena itu, Amir mengatakan, pemerintah Indonesia telah memohon kepada Tribunal ICSID agar memerintahkan Churchill Mining membuka bukti otentik atas izin investasi di Indonesia.
Selain itu, menurut dia, pada 8 Juli 2014, Tribunal ICSID menolak permohonan Churchill Mining untuk menghentikan proses pidana atas dugaan pemalsuan dokumen izin usaha pertambangan (IUP) Ridltama Group. Ridlatama Group adalah perusahaan Indonesia yang diakuisisi oleh Churchill Mining untuk melakukan usaha pertambangan di lahan konsesi seluas sekitar 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. "Putusan sela ini membuat kasus ini terang-benderan, siapa yang memalsukan dokumen," ujar Amir.
Proses pidana itu dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian oleh Bupati Kutai Timur Isran Noor karena Ridlatama Group memalsukan dokumen izin usaha pertambangan. Churchill meminta Tribunal ICSID menghentikan proses pidana itu karena dianggap mempengaruhi jalannya sengketa antara Churchill Mining dan Indonesia.
Isran Noor mengatakan proses pemidanaan terhadap Ridlatama Group atas pemalsuan dokumen pertambangan akan terus berlanjut. Pemalsuan itu, kata dia, dapat menjadi bukti pendukung agar pemerintah Indonesia menang melawan Churchill. "Pencabutan izin usaha pertambangan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sudah tepat, karena ada pemalsuan dokumen, sehingga kasus ini salah alamat, karena yang bermasalah sebenarnya Churchill Mining dan Ridlatama, bukan dengan pemerintah," ujar Isran ketika dihubungi Tempo.
Awalnya, kata Isran, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tak mempermasalahkan pidana atas pemalsuan dokumen. Tapi, kata Isran, pihak kuasa hukum Churchill Mining menantang pemerintah Indonesia membuktikan adanya pidana pemalsuan dokumen. "Saya tidak mempidanakan karena pencabutan izin usaha saja sudah berat bagi perusahaan," ujarnya.
Sengketa investasi yang diajukan oleh Churchill Mining Plc terhadap Indonesia itu berawal dari pencabutan izin pertambangan Ridlatama Group oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Lahan Ridlatama sebelumnya dikuasai oleh Grup Nusantara, yang berakhir pada 2006-2007. Setelah itu, lahan dikuasai oleh PT Ridlatama yang kemudian diakuisisi oleh Churchill.
Pada Mei 2012, Churchill Mining memasukkan gugatan ke Tribunal ICSID. Hingga saat ini, kasus masih bergulir di Tribunal ICSID dan belum memasuki pokok perkara. Atas gugatan ini, Churchill Mining meminta pemerintah Indonesia membayar US$ 1,1 miliar atas kerugian akibat pencabutan izin itu.
NURUL MAHMUDAH | ANJANI HARUM UTAMI
Terpopuler:
Serangan ISIS Mendekati Mekah
Aburizal Klaim Koalisi Permanen Positif
PKB Jawa Tengah: Jokowi Menang di Semua Basis NU
PBB: Konflik Israel-Palestina Semakin Memburuk
Jokowi Menang, Indeks Bisa Tembus 5.200