TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) menilai, pelayaran Indonesia belum mampu berkompetisi dengan pelayaran internasional. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya insentif untuk menekan pasokan ruang yang lebih besar dibanding permintaan muatan. "Kalau di dalam negeri itu belum ada pasarnya. Komoditasnya masih satu jalan saja," kata Supriyanto, anggota Dewan INSA, saat dihubungi Tempo, Selasa 27 Mei 2014.
Menurut Supriyanto, jumlah pasokan yang tidak seimbang bisa mengakibatkan perang tarif antara perusahaan pelayaran. Tak hanya itu, biaya operasional kapal juga meningkat saat kapal kembali dari daerah dengan muatan setengah penuh atau kosong.
Supriyanto menambahkan, selama ini pelayaran asing lebih unggul karena membentuk konsorsium. Beberapa perusahaan kapal beraliansi untuk mengirim barang. "Mereka sudah sampai di tahap efisiensi biaya, sedangkan kita baru mau mulai," kata Supri. (Baca juga: Biaya Logistik Terkerek Aneka Pungli dan Monopoli)
Untuk bisa bersaing dengan perusahaan pelayaran asing, INSA mengharapkan program CIF (cost, insurance, and freight) segera berjalan. Sistem ini mengatur pencatatan besaran nilai insurance dan freight didasarkan pada nilai transaksi ekspor yang disepakati antara eksportir dengan pembeli di luar negeri. Penerapan sistem ini sebenarnya sudah diberlakukan per 1 Maret 2014.
Menurut INSA, kondisi pelayaran nasional makin memburuk karena sektor angkutan curah kering tutup. "Dengan larangan ekspor batu bara mentah, tidak ada angkutan dan tidak ada uang masuk,"kata dia. Menurut Supri, sejak Januari hingga kini permintaan turun hingga 50 persen. Saat ini, perusahaan pelayaran nasional sedang berjuang untuk mencapai target muatan ekspor-impor dengan kapal nasional sebesar 30 persen.
PUTRI ADITYOWATI
Terpopuler
Chevron Ancam Alihkan Rencana Investasi US$ 12 M
Apple Akhirnya Buka Kantor Cabang di Indonesia
Besok, CT Panggil Freeport dan Newmont