TEMPO.CO, Jakarta - Berbeda dengan Indonesia yang giat menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah Tiongkok justru mengerem laju pertumbuhan ekonominya. Apakah Negeri Tirai Bambu itu sudah merasa cukup makmur? Ternyata, bukan itu alasannya. Pengamat ekonomi dari Bank BCA, David Sumual, menyatakan Tiongkok sudah tidak terobsesi lagi mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit.
"Kapasitas sektor industri manufaktur dan properti di Tiongkok sudah melebihi kapasitas," katanya saat dihubungi Tempo, 8 Mei 2014. David menjelaskan, akibat kelebihan kapasitas di industri manufaktur dan properti, saat ini banyak pabrik yang kosong dan proyek properti yang mangkrak. Beberapa wilayah Tiongkok bahkan sudah seperti kota hantu karena tak ada produksi dan properti tak terpakai.
"Pemerintah negara itu akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonominya. Karena, jika mereka tetap berambisi tumbuh dua digit, dikhawatirkan malah menjadi bumerang," ujar David. Pertumbuhan ekonomi tertinggi Tiongkok dicapai pada 2010, yakni 10,4 persen. Tahun 2011 turun menjadi 9,2 persen, 7,8 persen pada 2012, dan 7,6 persen pada 2013. Pada kuartal pertama 2014, Tiongkok hanya tumbuh 7,4 persen.
Menurut dia, banyak industri dan properti di Tiongkok yang dibiayai oleh shadow banking. Praktek shadow banking ini mirip dengan praktek investasi di Indonesia. "Bedanya, di Indonesia lebih banyak menawarkan investasi emas, sedangkan di Tiongkok investasi infrastruktur. Shadow banking di sana sekarang sedang macet," tuturnya.
Dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini, kata David, tentu berpengaruh pada Indonesia karena permintaan komoditas mereka akan menurun. Padahal, ekspor terbesar Indonesia ke Tiongkok. Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok bisa menjadi peluang. Banyak industri-industri di negeri itu yang mulai memikirkan relokasi usaha ke negara lain.
Penyebabnya, tenaga kerja di sana dianggap tak murah lagi dan aturan pemerintah yang ketat soal lingkungan. "Tinggal bagaimana pemerintah Indonesia bisa meyakinkan investor. Mereka juga tertarik membangun smelter (pabrik pengolahan konsentrat logam) di Indonesia," kata David.
AMIR TEJO
Baca juga:
Belanja Iklan, Obat Kulit Manggis Paling Tinggi
Harga Semen Naik, Kualitas Rumah Turun
Terpopuler:
Bangun Tidur, Bupati Bogor Dicokok KPK
Hukum Syariah Aceh Disorot Media Internasional
Soal Investasi Asing, Jokowi Tangkis Serangan SBY