TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan dua kemungkinan alasan perlunya impor kakao dengan kuantitas yang lebih besar. "Bisa kakao kurang atau jenis kakaonya memang tidak bisa diproduksi. Ini yang akan kami lihat dulu," ujarnya, Kamis, 10 April 2014. (baca:Pemerintah Akan Hapus Bea Masuk Kakao)
Dia menjelaskan, kuantitas ekspor biji kakao masih harus dilihat terlebih dahulu. Bambang menuturkan, yang sekarang terjadi yakni biji kakao lokal diolah di luar negeri, kemudian diekspor. Karena itu, pasti akan terjadi kekurangan di dalam negeri.
Bambang mengatakan Kementerian Keuangan akan mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Misalnya, perlu-tidaknya kombinasi biji kakao Indonesia dengan kakao asal negara lain, seperti Ghana dan Pantai Gading, untuk membuat bubuk cokelat.
"Saya dengar dari pelaku usaha produksi dalam negeri kurang, tapi kakao fermentasi juga dibutuhkan," kata Bambang. Dia mengatakan masih akan memeriksa kemungkinan kurangnya produksi dalam negeri apakah akibat ekspor atau lainnya. (baca:Kakao Indonesia Tak Beraroma Cokelat)
Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman mengatakan selama ini pasokan biji kakao lokal masih belum mencukupi kebutuhan industri. Walhasil, industri harus mencari pasokan biji kakao dari mancanegara.
Menurut Pieter, saat ini produksi biji kakao lokal hanya sekitar 480 ribu ton per tahun. Sedangkan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao kini sudah mencapai 600 ribu ton per tahun. "Jadi, industri masih membutuhkan impor 120 ribu ton per tahun," ujarnya.
Pieter menyatakan permintaan penghapusan bea keluar impor biji kakao tidak akan berdampak bagi petani kakao lokal. Sebab, menurut dia, kakao lokal masih dapat terserap oleh industri. Lagi pula, "Sekitar 80 persen dari produk hasil olahan kakao dijual untuk pasar ekspor."
MARIA YUNIAR
Berita Terpopuler
Suara Demokrat Turun, Ibas Diyakini Masih Lolos ke Senayan
Suara Demokrat Amblek di TPS Kampung Mertua SBY
Inilah Kunci Sukses Mourinho Loloskan Chelsea