TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan kenaikan pajak barang mewah berupa kendaraan bermotor tidak berdampak pada pengurangan defisit neraca transaksi berjalan. Menurut dia, kenaikan pajak itu hanya instrumen untuk mengurangi konsumsi barang mewah.
"Impornya tak banyak. Konsumsi (mobil mewah) tidak besar. Jadi jangan dianggap dapat mengurangi current account deficit," katanya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 21 Maret 2014.
Chatib mengatakan penerimaan negara dari kenaikan pajak mobil mewah tidak terlalu besar. Jumlahnya juga tak bisa dikompensasikan dengan nilai impor. "Yang punya mobil mewah berapa, sih?" katanya.
Pemerintah akan mengubah peraturan tentang pajak barang mewah berupa kendaraan bermotor. Melalui akun Twitter-nya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kenaikan pajak barang mewah untuk kendaraan bermotor dari 75 persen menjadi 125 persen.
"Pemerintah ubah peraturan terdahulu ttg pajak barang mewah berupa kendaraan bermotor dari 75 persen menjadi 125 persen, berlaku bulan depan," cuit Yudhoyono, Jumat , 21 Maret 2014.
Seperti dikutip dalam laman www.setkab.go.id, Yudhoyono mengatakan kendaraan bermotor yang terkena kenaikan pajak adalah sedan atau station wagon dan motor bakar cetus api dengan kapasitas 3.000 cc. Adapun mobil dengan motor bakar nyala kompresi yang dikenai pajak adalah yang berkapasitas minimal 2.500 cc. (Baca: Kenaikan Pajak Mobil Supermewah Terganjal Birokrasi)
ANGGA SUKMA WIJAYA