TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengatakan saat ini diperlukan pengawasan terhadap utang luar negeri swasta. Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengawasi pinjaman luar negeri oleh perusahaan swasta yang diinvestasikan pada bisnis dan kondisi keuangan perusahaan.
OJK harus ikut memonitor karena ternyata banyak perusahaan go public dan perusahaan asuransi serta pembiayaan yang melaporkan pinjaman luar negeri. “Sehingga OJK bisa melakukan mitigasi impact dari utang masing-masing perusahaan,” kata Anny setelah menghadiri acara kick-off meeting Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin, 24 Februari 2014.
Kerja sama yang intens antara pemerintah, bank sentral, dan OJK, kata dia, sangat dibutuhkan. Sebab, OJK yang memiliki data mengenai perusahaan-perusahaan yang mengambil utang mempunyai peran penting untuk melakukan pengawasan. “OJK sudah melakukan review sekarang. Dia mitigasi perkembangan utang dan kemampuan membayar masing-masing perusahaan.”
Sedangkan untuk utang pemerintah, Anny mengatakan saat ini kondisinya cukup terjaga dengan adanya mekanisme pengawasan yang cukup jelas meliputi reprofiling, buy back, dan mekanisme penjadwalan penerbitan utang. “Kalau dari sisi pemerintah itu clear,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistiowaty mengatakan utang luar negeri swasta Indonesia saat ini tercatat mencapai US$ 99,8 miliar dan didominasi utang jangka panjang sebesar 71,1 persen.
Menurut Hendy, utang swasta yang berbentuk perjanjian pinjaman (loan agreement) mencapai US$ 91,3 miliar (sekitar Rp 1,095 triliiun) atau setara dengan 66,6 persen. Sebagian besar utang luar negeri tersebut dipunyai korporasi non-keuangan (perusahaan-perusahaan) dan bukan bank ataupun lembaga keuangan.
Utang luar negeri swasta yang dimiliki koorporasi non-keuangan mencapai US$ 108,6 miliar. Sedangkan utang perbankan hanya sebesar US$ 24,1 miliar atau setara 17,2 persen.
Jika dilihat dari bidang usaha, peminjam utang luar negeri dari swasta yang bergerak di bidang keuangan (26,21 persen), manufaktur (20,45 persen), pertambangan (18,27 persen), dan listrik (11,57 persen). Bidang usaha lainnya seperti pengangkutan (7,49 persen), perdagangan (5,28 persen), pertanian (5,58 persen), bangunan (0,58 persen), jasa-jasa (0,69 persen) dan lainnya (3,88 persen).
ANGGA SUKMA WIJAYA
Berita terkait:
Jokowi Jadi Presiden, Rupiah Bisa Tembus 10 Ribu
Semen Indonesia Catat Laba Bersih Rp 5,37 Triliun
Pemerintah Ogah Rekomendasi Freeport dan Newmont
Lahan untuk Foxconn di Marunda Berstatus Sewa