TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi meyakini bahwa kegiatan ekspor mineral akan mulai pulih pada tahun 2015. "Tahun depan nilai ekspor mineral Indonesia bisa kembali menyamai kinerja ekspor 2013," kata Bayu.
Bayu mengakui, setelah beberapa peraturan terkait ekspor mineral diterapkan, akan terjadi penurunan ekspor di sektor tersebut. Namun, pelambatan ekspor mineral itu telah diantisipasi oleh pemerintah.
Bahkan, pada 2020, diyakini nilai ekspor mineral Indonesia akan mencapai US$ 12 miliar, atau berlipat ganda dibandingkan tahun lalu yang senilai US$ 6,54 miliar. "Pada 2020 double by value, tetapi tidak by volume, karena volume kemungkinan lebih sedikit," ujar Bayu.
Hal itu, menurut Bayu, dipicu oleh kegiatan hilirisasi tambang yang sudah mulai berjalan setelah implementasi Undang-undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 tahun 2009.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan untuk pos tarif dengan kode 26 atau bijih, kerak, dan abu logam sepanjang 2013 berjumlah 146 ribu ton atau 60 persen lebih besar dari ekspor mineral mentah pada 2012. Bila dilihat nilainya, maka ekspor mineral tersebut mencapai US$ 6,54 miliar atau 28,73 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Ekspor mineral tersebut didominasi penjualan tembaga ke luar negeri. Di 2013, porsi ekspor tembaga mencapai 74,1 persen. Ekspor tembaga Januari-Desember 2013 bernilai US$4,85 miliar. Ekspor tembaga di Desember 2013 sebesar US$697 juta atau naik 65,7 persen.
Catatan Kementerian Perdagagan, hingga saat ini belum ada perusahaan yang mengajukan diri sebagai eksportir terdaftar (ET) agar bisa mengekspor mineral mentah atau mineral dengan kadar pengolahan tertentu. "Belum (ada perusahaan yang ajukan ET), karena memang proses rekomendasi dari Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) masih dibahas," ujar Bayu.
Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur meragukan optimisme pemerintah itu. Ia justru melihat bisnis mineral di Indonesia akan mengalami degradasi atau kelesuan akibat kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
"Kepercayaan bisnis internasional kurang terhadap pemerintah, sehingga berat untuk memulihkan kembali," ucap Natsir melalui pesan singkat.
Natsir pun membandingkan pembangunan smelter di luar negeri dan di Indonesia. Ia menyebut, di negara lain pengusaha yang mau membangun smelter, menerima insentif yang besar. “Di Indonesia insentif baru sebatas tax allowance dan tax holiday,” katanya.
ATEI pun mempersilakan para pebisnis mineral menempuh jalur hukum melalui arbitrase internasional, Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi untuk memprotes kebijakan pemerintah. Sebab, ruang berbicara untuk pemerintah sudah tertutup. "Yang penting jangan sampai ada pihak yang diuntungkan secara ilegal," ujarnya.
PINGIT ARIA | MARIA YUNIAR
Terpopuler :
Tutup Sebagian, Ini Rute Andalan Mandala Air
Pembekuan Dicabut bila Merpati Layak Terbang
Mantan Menteri Kehutanan, Hasjrul Harahap, Wafat
Mendukung IMF, Thee Kian Wie "Melawan" Soeharto
Butuh Rp 5 Triliun untuk Tutup Merpati