TEMPO.CO, Jakarta -Pengamat minyak dan gas dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi, meminta Pertamina mengumumkan biaya pokok produksi sebelum menaikkan harga Elpiji. Biaya pokok produksi ini, harus melewati audit akuntan publik dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Agar acuannya valid. Jangan-jangan mengaku rugi itu perhitungan sendiri," kata Kurtubi saat dihubungi Tempo, Rabu, 1 Januari 2014. Pertamina mengacu harga kontrak (contract price/CP) Aramco, dalam menentukan harga
Menurut Kurtubi, Pertamina dapat memakai acuan CP Aramco selama produksi elpijinya seratus persen berasal impor. Dia mengatakan elpiji eceran Pertamina sekitar 20 hingga 30 persen impor, sisanya diambil dari gabungan produksi dalam negeri yakni, Pertamina dan non Pertamina.
Kurtubi mengatakan Pertamina sengaja menggunakan acuan Aramco untuk mencari untung. "Kalau PT (perseroan terbatas) orientasinya kepentingan bisnis, enggak mau rugi," katanya. Pertamina seharusnya mempunyai perhitungan sendiri yang mengkalkulasikan biaya pokok elpiji keseluruhan termasuk biaya gabungan elpiji yang diproduksi baik dari dalam negeri maupun impor.
Menurut dia, Aramco memiliki komponen tersendiri dalam menentukan harga, di antaranya komponen biaya produksi, distribusi, margin keuntungan dan biaya pajak yang ditetapkan suatu negara dimana pabrik Aramco berdiri. " Tidak adil dan tidak tepat jika pertamina memakai acuan Aramco," kata Kurtubi.
Selama ini, Pertamina berkukuh menggunakan acuan harga Aramco dari Arab Saudi, yang lazim digunakan dalam perdagangan gas. Harga acuan itu digunakan juga oleh negara-negara lain di dunia.
Direktur LPG dan Produk Gas Pertamina Gigih Wahyu Hari Irianto beberapa waktu lalu mengatakan harga gas CP Aramco kembali naik pada Desember 2013. Bulan lalu, harga kontrak internasional mencapai US$ 1.172,5 per metrik ton. Akibatnya, dengan kurs rupiah sekitar 12 ribu per dolar Amerika Serikat, Pertamina mengalami kerugian hingga Rp 10 ribu per kilogram.
Mulai 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga elpiji berukuran 12 kilogram dari Rp 70 ribu menjadi Rp 122 ribu. Menurut juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, harga elpiji sebelum naik adalah Rp 5.850 per kilogram. Harga yang berlaku sejak Oktober 2009 itu jauh di bawah harga pokok perolehan, yakni Rp 10.785. Akibat selisih tersebut, Pertamina menanggung kerugian sebesar Rp 22 triliun selama enam tahun terakhir. Meski harga sudah dinaikkan, Pertamina masih merugi sebesar Rp 2.100 per kilogram.
ALI HIDAYAT