TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syaifuddin, mengatakan saat ini harga kedelai sudah mencapai Rp 8.900-Rp 10.000 per kilogram. "Harge kedelai saat ini tertinggi dalam sejarah," kata Aip di kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kamis, 5 September 2013.
Hal ini, kata dia, menyebabkan produsen tahu tempe menurunkan produksi dari 70 kilogram per hari menjadi 50 kilogram per hari. Mereka juga melakukan pengurangan pegawai karena membengkaknya biaya produksi. Produsen tahu tempe, menurut Aip, hanya bisa mentoleransi harga jual kedelai dari petani maksimal pada level Rp 7.700.
Pada awal Juli, harga beli dari petani mencapai Rp 7.450, kemudian pada bulan Agustus harga naik menjadi Rp 7.700. Pada akhir Agustus harga melambung menjadi Rp 9-10 ribu. Gakoptindo menyatakan kenaikan harga tempe semata-mata dilakukan agar bisnis mereka tetap bisa berjalan. "Tempe harganya naik dari Rp 4 ribu paling menjadi Rp 6 ribu. Ini kami lakukan semata-mata agar kami bisa bertahan," katanya.
Pada 2012, kata dia, harga kedelai sempat mencapai Rp 5.000-6.000, kemudian naik menjadi Rp 8.200-Rp.8.500. "Tapi setelah mogok produksi harga kemudian turun menjadi Rp 5-7 ribu," katanya.
Gakoptindo berharap harga jual kedelai bisa kembali pada masa tahun 1978-1998. Pada 1992, Aip mengatakan Indonesia bahkan telah mencapai swasembada kedelai. Saat itu, importasi kedelai dikelola oleh Bulog. "Kami berharap Bulog menangani lagi, Bulog yang mengelola. Sejak dibebaskan pada importir, harga menjulang tinggi," katanya.
Produsen tahu dan tempe akan melakukan mogok produksi pada 9-11 September mendatang menyusul harga kedelai yang semakin tidak terkendali. "Kami akan melakukan mogok produksi pada 9-11 September. Kami berharap ada keberpihakan pemerintah pada pengusaha kecil," katanya.
ANANDA TERESIA
Terhangat:
Harga Kedelai | Vonis Kasus Cebongan | Jokowi Capres? | Jalan Soeharto
Berita terkait:
Rupiah Melemah, Importir Kedelai Merugi
Bulog Tak Jamin Kedelai Impor Datang Bulan Depan
Gita Wirjawan: Impor Kedelai Kini Bebas