TEMPO.CO, SURAKARTA - Pengusaha batik skala industri kecil menengah di Surakarta mengeluh kesulitan untuk ekspor. Kesulitan ekspor disebabkan tingginya standar yang diterapkan pemerintah, antara lain standar produksi, label, dan ramah lingkungan. Untuk memenuhi standar, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.
“Yang kami sesalkan, pemerintah menerapkan standar tinggi dan sulit untuk batik yang akan diekspor. Padahal batik milik Indonesia,” kata pemilik batik Lor Ing Pasar, Widhiarso, saat diskusi strategi pemasaran batik di pasar internasional di Universitas Islam Batik (Uniba) Surakarta, Selasa, 30 Juli 2013.
Di sisi lain, pemerintah terkesan mempermudah masuknya barang impor ke Indonesia. Akibatnya, Indonesia dikuasai produk impor, termasuk tekstil batik. ”Sayangnya, masyarakat kita senang dengan produk berbau impor.”
Dia meminta pemerintah mempermudah proses ekspor untuk batik. Sebagai warisan budaya Indonesia, batik berperan mengenalkan dan menjadi ikon Indonesia di dunia internasional. Ia mengaku selama ini pengusaha batik, khususnya di kampung batik Laweyan, sudah berupaya menyesuaikan dengan keinginan pembeli luar negeri. Misalnya soal corak, kualitas, dan proses produksi yang ramah lingkungan. Menurut dia, yang menghambat ekspor justru aturan pemerintah.
Pengusaha batik lainnya, Achmad Soelaiman, mengatakan tantangan ekspor batik lainnya datang dari negara tujuan. Seperti di Malaysia yang mengharamkan ada produk batik Indonesia masuk ke negara tersebut. “Tujuannya melindungi industri batik mereka yang berpusat di Terengganu dan Kelantan,” kata pemilik batik Puspa Kencana ini.
Untuk itu, dia mencoba mengakali dengan menawarkan kain putih sebagai bahan baku batik di Malaysia. Biasanya pengusaha batik Malaysia mendatangkan kain putih dari Thailand dan Cina.
Setelah terjalin bisnis cukup lama, akhirnya ia mendapat kepercayaan memproduksi batik Malaysia di Indonesia. “Lalu diekspor ke Malaysia,” katanya. Ia menambahkan, pengusaha batik Laweyan sebenarnya sudah mulai mengekspor batik sejak 1970-an, meski jumlahnya terbatas.
Dosen Uniba Surakarta, Endang Siti Rahayu, mengatakan penjualan batik dari Laweyan cukup menggembirakan. Untuk berjaya di pasar internasional, ia menyarankan pengusaha batik memperhatikan kebudayaan di negara tujuan, efisiensi proses produksi untuk meningkatkan daya saing, dan melihat aturan yang berlaku. Misalnya, tidak boleh menggunakan campuran bahan tertentu dalam proses produksi.
UKKY PRIMARTANTYO (SURAKARTA)
Topik Terpanas:
Anggita Sari | Bisnis Yusuf Mansur | Kursi Panas Kapolri | Hormon Daging Impor | Bursa Capres 2014
Berita Terpopuler:
Jokowi Blusukan: `Pemerintah Kebobolan`
Dipaksa Minta Maaf, Ahok Telpon Haji Lulung
Dahlan Iskan Bakal Calon Presiden dari Demokrat
Pengacara Mario: KPK Jangan Umbar Wacana
Jokowi Ikut Konvensi? Demokrat: Tidak Ingat