TEMPO.CO, Surabaya-Sumiati, pengusaha lontong di Jalan Petemon Barat Surabaya, mengaku sempat kesulitan mendapatkan tabung elpiji 3 kilogram dua pekan lalu. Meski kini berangsur normal, tapi kenaikan harga yang mencapai Rp 15.000 membuat Sumiati harus bersiasat. "Dua minggu lalu sempat terlambat, harganya mencapai Rp 17.000," kata Sumiati kepada Tempo, Rabu 26 Juni 2013.
Sebelumnya, harga tabung elpiji 3 kilogram masih berada di kisaran Rp 12.500. Tapi dua minggu terakhir, harganya melonjak menjadi Rp 17.000 dan kini Rp 15.000. Dengan harga itu, Sumiati pun harus menekan ongkos produksi dan memperkecil ukuran lontong jika tidak ingin kehilangan pelanggan. Sebab, tidak mungkin baginya untuk menaikkan harga jual lontong yang sekarang sudah mencapai Rp 1.000 per buah.
Setiap harinya Sumiati membutuhkan 4 tabung elpiji ukuran 3 kilogram. Saat kondisi langka, Sumiati harus berburu tabung elpiji ke toko yang lebih jauh. Baginya, tidak masalah jika harga LPG naik asal tidak ada kelangkaan. "Meski harganya mahal, nggak apa-apa, karena memang butuh. Asal nggak langka aja," katanya.
Meski demikian, diakui Sumiati ada perbedaan antara isi elpiji sewaktu masih seharga Rp 12.500 dan kini Rp 15.000. Menurutnya, pada saat tabung elpiji masih seharga Rp 12.500, ia bisa memasak lontong dari pukul 18.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB baru padam. Tapi sejak harganya naik Rp 15.000, satu tabung elpiji hanya bisa memasak lontong dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB. Artinya, ada kemungkinan isi tabung berkurang. Bahkan, Sumiati harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli tabung elpiji.
Dengan naiknya harga tabung elpiji dan bahan bakar minyak (BBM), Sumiati juga mengeluhkan kenaikan harga bahan baku lontong. Akibatnya, penjualannya pun berkurang. Jika sebelumnya ia bisa menjual 840 lontong, sejak harga melonjak naik, Sumiati hanya sanggup menjual 630-700 lontong per hari.
Lain lagi dengan Subianto. Pengusaha misoa di kawasan Rajawali Surabaya ini sudah sejak lama meninggalkan tabung elpiji. Ia tetap bertahan dengan kayu bakar sebagai bahan bakar produksinya.
Dua tahun lalu, Subianto sempat mencoba menggunakan tabung elpiji ukuran 3 kilogram hingga 50 kilogram. Tapi akhirnya Subianto pun kembali beralih ke kayu bakar. Pasalnya, dengan tabung elpiji, ongkos produksi yang dikeluarkannya lebih besar 6 kali lipat daripada jika menggunakan kayu bakar. "Kalau kayu bakar kan cuma limbah pabrik, kadang malah diberi sama pabrik, jadi lebih irit," ujarnya.
Dengan naiknya bahan baku dan biaya transportasi, Subianto juga harus melakukan efisiensi untuk menekan biaya produksi. Sama seperti Sumiati, Subianto tidak mungkin menaikkan harga jual mie yang diproduksinya. Apalagi dengan persaingan yang sangat ketat baik akibat serbuan mie impor maupun dari pengusaha lokal.
AGITA SUKMA LISTYANTI
Terhangat:
Ridwan Kamil| Razia Bobotoh Persib| Puncak HUT Jakarta| Penyaluran BLSM| Ribut Kabut Asap
Baca Juga:
McDonalds Telah Menghapus Menu Makanan Halal
PKS: Dakwaan Luthfi Aneh dan Lucu
Mabes: Dua Polisi Tertangkap Bawa Rp 200 Juta
Ahok Kecewa dengan PKL
Mahdiana Kenalkan Djoko Susilo sebagai Andika
Polisi Tetapkan 9 Tersangka Pembakar Hutan
Laga Persib Vs Persija Bakal Dilarang di Jakarta