TEMPO.CO, Yogyakarta- Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan tak bisa membatasi lalu lintas perdagangan sapi antar provinsi tanpa alasan yang jelas. Pernyataan itu disampaikan Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko menanggapi persaingan antar pedagang daging sapi dari luar daerah yang dinilai menjadi penyebab berkurangnya pasokan daging di pasar.
“Kami tidak punya kewenangan membatasi itu,” kata dia pada Tempo, Selasa, 28 Mei 2013. Pembatasan peredaran sapi antar daerah, kata dia, hanya bisa dibatasi jika ada alasan khusus. Di antaranya adanya peraturan perundang-undangan dan kekhawatiran penyebaran wabah penyakit, semisal antraks. “Kalau penyakit ini nanti harus masuk Karantina dulu,” kata dia.
Sebelumnya, Pengawas Peredaran Barang yang Beredar dan Perlindungan Konsumen Disperindagkop dan UKM DIY Sugiono mengatakan banyak pedagang daging luar daerah yang meminati sapi-sapi peternak DIY. Untuk mendapatkan sapi mereka bahkan berani membayar dengan harga lebih tinggi Rp 1 juta. Misalnya saja, untuk sapi bakalan berusia 4 bulan seharga Rp 7 juta per ekor bisa dibeli hingga harga Rp 8 juta.
Sejak harga daging sapi melonjak hingga Rp 90 ribu per kilogram, pasokan daging di sejumlah pasar di Yogyakarta terus berkurang. Di pasar Beringharjo misalnya, jika sebelum kenaikan mencapai 60-70 kilogram per hari, kini turun menjadi 50 kilogram per hari.
Sasongko menilai, berkurangnya jumlah sapi DIY bukanlah satu-satunya alasan menurunnya pasokan daging di pasar. Bisa jadi, menurut dia, tingginya harga daging membuat jumlah konsumen turun sehingga pedagang mengurangi persedian barang. “Banyak kemungkinan,” kata dia.
Ia justru mengklaim produksi sapi di DIY justru dinilai sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Bahkan, persedian itu berlebih. “Tiap tahun saja dikirim ke Jabar dan Jakarta hingga 15 ribu ekor,” kata dia.
Ketua Paguyuban Pedagang Daging Sapi Segoroyoso Ilham Akhmadi mengatakan memang ada persaingan tak sehat yang berlangsung antara pedagang sapi DIY dan luar daerah. Dimaksud persaingan tak sehat karena sapi yang didapat dipotong dengan cara tak sehat dan aman. “Sapinya digelonggong,” kata dia.
Tak heran, sambung dia, pedagang sapi luar daerah berani membeli dengan harga lebih mahal di atas harga normal. Ini karena dengan digelonggong volume daging yang didapat pun bertambah banyak. Misalnya saja sapi normal dengan berat 100 kilogram setelah digelonggong beratnya bisa mencapai 135 kilogram. “Yang 35 ini air,” kata dia.
Menurut dia, tak benar jika pasokan daging berkurang karena produksi sapi berkurang. “Kalau ngomong tidak ada daging, itu tidak benar,” kata dia. Pasokan daging tetap terpenuhi. Bahkan pasokan daging gelonggong dari pedagang luar daerah itu ada juga yang masuk kembali di pasar-pasar Yogyakarta. Mereka tak hanya memasok kebutuhan daging di daerahnya dan di Yogyakarta saja, bahkan hingga ke Jakarta. “Peredaran daging gelonggong ini sudah menyeramkan,” kata dia.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai kurang memantau peredaran perdagangan daging seperti ini. Semestinya, pemantauan bisa dilakukan melalui rumah-rumah pemotongan hewan.
ANANG ZAKARIA
Topik Terhangat:
Tarif Baru KRL | Kisruh Kartu Jakarta Sehat | PKS Vs KPK | Vitalia Sesha | Ahmad Fathanah
Berita Terpopuler:
KPK: Hilmi Punya Banyak Informasi Soal Luthfi
Daftar Pemenang Indonesian Movie Award 2013
Ini 21 Pemain Timnas Lawan Belanda
Masjid Dibakar, Anti-Islam Merebak di Inggris
Reza Rahadian Tak Sengaja Injak Gaun BCL
Jokowi Berpeluang Jadi Calon Presiden dari PDIP