TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan. Menurutnya, pemberlakuan moratorium izin hutan harus paralel dengan perbaikan tata kelola.
Berdasarkan studi UNDP, indeks Parcitipatory Goverment Assesment (PGA) tata kelola hutan di Indonesia hanya di angka 2,33 dari indeks tertinggi 5 pada 2012.
"Nilai itu tidak mencapai separuhnya. Artinya, ada persoalan besar dalam tata kelola hutan. Seharusnya kita sudah di atas 3 atau 3,5," kata Purwadi. Dia menyatakan, pemerintah jangan hanya terkonsentrasi pada penundaan izin saja, tapi juga pada penyempurnaan tata kelola.
Ada beberapa komponen yang menjadi penilaian indeks tata kelola hutan, antara lain komponen hukum dan kebijakan, kapasitas pemerintah, kapasitas CSO, kapasitas masyarakat, kapasitan bisnis, dan kinerja. "Tujuan moratorium tidak bisa tercapai jika aktor-aktor yang terkait ini tidak diperbaiki," ujar Purwadi.
Sementara itu, peneliti Sajogyo Institute, Mia Siscawati, melihat perpanjangan moratorium izin hutan dari perspektif yang berbeda. Menurutnya, tujuan dari moratorium baik jika dilihat dari perspektif lingkungan.
Tapi, dia mempertanyakan fungsi hutan yang masuk dalam area moratorium. Perizinan dalam bentuk lain seperti restorasi ekologi dan konservasi masih membuka ruang terjadinya masalah-masalah sosial, sengketa kepemilikan lahan (tenyorial), dan konflik agraris.
"Bagaimana pengelolaan jika izinnya dijadikan Hutan Konservasi. Sebab wilayah-wilayah konservasi bukan wilayah yang tidak berpenduduk," ujarnya. Jadi, pemerintah seharusnya tidak berhenti sampai perpanjangan moratorium saja.
Mia menghimbau agar pemerintah tidak hanya menjadikan moratorium sebagai proses peristirahatan ekspolitasi saja. Tapi, harus diikuti dengan kebijakan atau peraturan untuk menangani konflik agraria di wilayah itu. "Karena izin konservasi dan restorasi itu bukan tidak menimbulkan masalah. Sebab, masyarakat yang ada di dalam dan sekitarnya tidak boleh memanfaatkan hutan itu," ujarnya.
Mia berpendapat, perubahan izin HPH dan HTI menjadi Hutan Konservasi dan Hutan Restorasi Ekologi bagus secara lingkungan. Tapi, belum tentu baik secara sosial jika masih menggunakan cara-cara lama, yaitu menempatkan masyarakat di luar proses tersebut.
Menurut Mia, pengabulan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 16 Mei 2013 lalu, harus diikuti dengan penataan ulang hutan kembali. AMAN menggugat uji materi beberapa pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengenai klaim negara terhadap hutan adat yang dimasukkan ke dalam area hutan negara. Gugatan itu dikabulkan karena beberapa materi yang terdapat dalam undang-undang itu tidak sesuai dengan UUD 1945.
ARIEF HARI WIBOWO