TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII), Juniman menyatakan turunnya peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat utang internasional, Standard & Poor's (S&P) merupakan peringatan untuk pemerintah. Pemerintah harus bisa merespon dengan introspeksi dalam kebijakan Bahan Bakar Minyak.
Belum beraninya pemerintah memutus kebijakan BBM, menurut Juniman, akan membuat fiskal terhambat yang akhirnya mempengaruhi kredibilitas pembayaran utang. "Kalau fiskalnya sudah habis untuk subsidi, bagaimana membayar utang?" kata Juniman, Jumat, 3 Mei 2013. Apalagi, tahun lalu Bank Indonesia sudah memberi peringatan agar pemerintah melakukan "adjustmen" dengan memperbaiki kondisi makro.
Standard & Poor's ( S&P) merevisi prospek peringkat utang Indonesia dari positif menjadi stabil. Peringkat utang jangka panjang dan jangka pendek Indonesia masing-masing BB+ dan B. Peringkat utang tersebut dianggap mencerminkan rendahnya perekonomian, yang bisa dilihat dari pendapatan per kapita, pengembangan struktural den institusional, lemahnya kebijakan, serta peningkatan ketergantungan terhadap asing.
Produk domestik bruto atau "gross domestic product" (GDP) per kapita di Indonesiuna di perkirakan US$ 3.800 untuk tahun ini. Angka tersebut dianggap relatif rendah.
"Menurut kami, dengan pendapatan di level ini, Indonesia memiliki keterbatasan kemampuan dan kesejahteraan untuk mendorong fleksibilitas kebijakan," ujar analis S&P, Agost Benard melalui laman resmi lembaga pemeringkat utang nasional tersebut, Kamis, 2 Mei 2013. "Ruang gerak pemerintah pun menjadi terbatas untuk bermanuver," ujarnya. Menurut dia, ruang gerak pemerintah menjadi terbatas ketika harus mempertahankan kelayakan kredit melalui kebijakan yang tidak populer.
Lambatnya perkembangan infrastruktur, seiring dengan ketidakpastian hukum, hambatan birokratis, mengurangi potensi pertumbuhan Indonesia. Hal tersebut dianggap menghambat pengentasan kemiskinan dan pengembangan perekonomian. Perimbangan politis menyangkut pemilihan umum tahun depan pun ikut membentuk formula kebijakan. Lemahnya kebijakan bisa menimbulkan dampak negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi.
Wakil ketua Komisi Keuangan dari fraksi partai Golongan Karya, Harry Azhar Azis juga melihat penurunan prospek peringkat utang Indonesia dinilainnya sebagai gejala yang memprihatinkan. "Pemerintah tidak mampu menjaga, mempertahankan "grade" itu," kata Harry.
Ia menganalogikan penurunan peringkat tersebut seperti pemerintah tidak berhasil mempertahankan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sehingga turun menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) alias "disclaimer".
Ia mendesak pemerintah untuk memastikan kebijakan terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Ketidakpastian kebijakan BBM akan menyebabkan ketidakpastian untuk iklim investasi. "Karena investasi itu yang penting ada dua, kepastian dan keamanan," kata Harry.
MARIA YUNIAR