TEMPO.CO, Jakarta - Calon Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan Menteri Keuangan sebagai pengelola utang dan Bank Indonesia sebagai pengelola devisa harus berkoordinasi untuk menjaga risiko nilai tukar, aset, dan likuiditas. "Perlu menganalisis risiko gabungan. Dengan demikian, bisa termitigasi dengan baik," ujarnya pada saat mempresentasikan makalah terkait pencalonan dirinya sebagai Gubernur BI di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 25 Maret 2013.
Agus menjelaskan, perlu ada pertukaran informasi tentang perubahan portofolio utang serta basis mata uangnya dan perubahan portofolio devisa dan sebaran penempatannya. "Kalau keduanya (Kementerian Keuangan dan BI) tidak berkoordinasi, akan menciptakan market risk, currency risk, asset risk, dan liquidity risk."
Koordinasi tersebut, kata Agus, bukan dimaksudkan untuk mengurangi sifat independen bank sentral. "Bukan berarti independency tidak dilakukan," ujarnya. Namun, koordinasi diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya kondisi yang mengkhawatirkan.
Seperti diketahui, nilai utang luar negeri swasta terus membengkak. Tahun lalu utang luar negeri swasta mencapai US$ 125 miliar atau melonjak ketimbang 2006 mencapai US$ 52 miliar. Angka ini hampir setara dengan utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 126 miliar.
Lonjakan utang luar negeri swasta ini dinilai lebih membebani pemerintah dan Bank Indonesia karena sifatnya berjangka pendek, sedangkan utang pemerintah berjangka panjang.
Adapun pembiayaan kembali utang luar negeri swasta perlu dilakukan mengingat Indonesia sedang menghadapi defisit kembar yang berasal dari defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan. Artinya, kebutuhan valas tidak bisa dipenuhi oleh pasokan valas. Adapun penyebab utama defisit adalah tingginya impor, repatriasi modal, dan pembayaran utang luar negeri swasta bertenor pendek.
Walhasil, Bank Indonesia harus memenuhi kebutuhan valas dengan cadangan devisa untuk menjaga nilai tukar rupiah. Belakangan cadangan devisa terus menurun menjadi US$ 105 miliar per Februari 2013. Angka ini melorot dibandingkan dengan pada kuartal ketiga di 2011 yang mencapai US$ 120 miliar.
MARTHA THERTINA