TEMPO.CO, Jakarta - PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menyatakan berinisiatif untuk menstabilkan harga daging sapi yang beredar di pasar dalam negeri. "Kami dapat jawaban dari Direktorat Jenderal Peternakan kalau RNI tidak bisa melakukan impor karena kuota sudah habis," kata Direktur Utama RNI, Ismed Hasan Putro, dalam konferensi pers di kantornya, Rabu, 20 Maret 2013.
Ia menjelaskan, RNI mengajukan impor untuk 25.000 ekor sapi betina produktif serta 60.000 ekor sapi potong. Dengan ditolaknya permohonan itu, kata Ismed, RNI tidak bisa membantu pemerintah untuk menstabilkan harga. Ia pun mengatakan risau dengan harga daging sapi yang beredar saat ini.
Ismed mengungkapkan, saat harga daging sapi melambung, dilakukan pemotongan terhadap bibit, bahkan sapi betina produktif di sentra pemotongan. Dengan adanya praktik tersebut, ia memperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan akan terjadi krisis daging sapi yang dasyat. Ia menyebut masih akan ada ketergantungan impor karena produksi sapi lokal berkurang.
Sementara itu, kata Ismed, untuk membesarkan sapi anakan atau "pedet" diperlukan waktu panjang dan biaya besar yang merugikan peternak. "Kalau mereka mengembangkan pedet, bisa rugi Rp 4 juta-Rp 5 juta," ujarnya. Namun, selama ini peternak tidak memperhitungkan biaya tersebut karena mereka mengambil pakan sapi dari rumput yang berserakan.
Ismed pun mengatakan bahwa biaya pengurusan sapi tidak pernah dianggap sebagai biaya oleh para peternak. Ia masih menyesalkan penolakan permohonan impor yang diajukan RNI kepada pemerintah. "Masak ini BUMN ditolak oleh negara, kan ironis," katanya.
MARIA YUNIAR
Berita terpopuler
Ini Orang-orang Kepercayaan Djoko Susilo
Kisah Jenderal Djoko dan Kebun Binatang
Data Kartu Kredit Ini Dicuri untuk Belanja di AS
Ada Mayat Terikat dengan Mulut Dilakban di Bandara
Soal Malvinas, Argentina Minta Intervensi Paus
Cabut Bulu 'Brazilian Wax' Berisiko Infeksi Virus
Mobil Bertenaga Kopi Pecahkan Rekor Dunia