TEMPO.CO, SURAKARTA - Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Surakarta menyatakan keberatan jika harus membayar iuran untuk biaya pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Paguyuban Pemegang Saham dan Komisaris BPR (Pesakom) Solo, Wimbo Wicaksono, mengatakan iuran kepada OJK cenderung memberatkan BPR.
"Dulu pengawasan dilakukan Bank Indonesia dan tidak pernah ada iuran untuk pengawasan. Sekarang dialihkan ke OJK, tapi akan ditarik iuran yang besarannya belum diketahui," katanya kepada wartawan, di sela pertemuan pemegang saham dan komisaris BPR di eks Karesidenan Surakarta, Selasa, 26 Februari 2013.
Menurut Wimbo, penarikan iuran untuk pengawasan OJK sulit diterima. Sebab, perbankan tidak menerima imbal balik sama sekali, selain diawasi oleh OJK. Hal ini berbeda dengan iuran untuk Lembaga Penjamin Simpanan, di mana jika ada likuidasi BPR, dana simpanan masyarakat akan diganti oleh LPS.
"Beban pembayaran LPS cukup besar. Satu persen dari dana pihak ketiga. Kalau masih ada iuran OJK, akan memberatkan," ujarnya. Ia berharap pemerintah mempertimbangkan rencana untuk menarik iuran dari perbankan untuk membiayai pengawasan OJK. “Sebab untuk pengawasan dari BI tidak pernah dipungut biaya,” katanya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Persatuan BPR Indonesia (Perbarindo) Surakarta, Pangarso Yoga, berpendapat serupa. Dia menilai iuran untuk OJK akan membebani BPR. Selain itu, ia mempertanyakan independensi OJK untuk pengawasan. "Karena OJK dibayar perbankan," ucapnya.
Pangarso menambahkan, untuk pengawasan dari BI saja, yang bebas iuran, terkadang masih terjadi celah di pengawasan. "Ini OJK malah dibayar untuk mengawasi perbankan."
Pangarso juga mempertanyakan rencana OJK yang bisa melakukan investigasi jika menemukan ada suatu permasalahan di perbankan. Ia mengkhawatirkan soal independensi OJK. "Sebelumnya hanya dilakukan pembinaan. Tidak sampai harus investigasi. Jadinya malah seperti penegak hukum," katanya.
Wimbo mengatakan persoalan lain terkait dengan BPR adalah kewajiban memiliki modal minimal Rp 6 miliar. Ia menilai BPR harus benar-benar memiliki sumber dana yang memadai untuk memenuhi kewajiban tersebut. Saat ini rata-rata modal dari 88 BPR di eks Karesidenan Surakarta sebesar Rp 1 miliar.
UKKY PRIMARTANTYO