TEMPO.CO, Jakarta - Petani cabai meminta pemerintah untuk tidak membuka keran impor cabai meski harganya sedang tinggi. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiyana mengatakan, produksi petani sedang anjlok akibat banjir dan perubahan cuaca ekstrem, sehingga harga cabai yang tinggi bisa mengurangi kerugian biaya produksi.
“Kalau pemerintah mau melindungi petani, jangan membuka impor cabai. Kami menolak,” kata Dadi ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 16 Februari 2013.
Menurut ia, harga cabai yang tinggi sedikit menolong petani untuk menutup biaya produksi karena gagal panen bisa mencapai 70 persen. Jika pemerintah membuka keran impor, harga cabai di tingkat petani akan turun akibat pasokan ditutup dari impor.
“Petani belum tentu aman. Kalau impor harga akan turun, petani gagal panen, produksi hanya separuh untuk menutupi biaya produksi.”
Biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk menanam cabai sekitar Rp 60 juta per hektare. Dalam kondisi normal, produksi cabai mampu mencapai 10-15 ton per hektare. Namun, karena banjir melanda wilayah sentra produksi cabai, petani hanya mampu memanen 5-8 ton per hektare.
Di Pasar Induk Kramat Jati, harga cabai keriting tercatat Rp 17.000 per kilogram, harga cabai merah naik tipis dari Rp 17.500 per kilogram menjadi Rp 18 ribu per kilogram. Sementara itu, harga cabai rawit juga naik dari Rp 18 ribu menjadi Rp 20 ribu per kilogram.
“Kalau produksi normal, harga minimal cabai di tingkat petani Rp 6.000 per kilogram, sekarang harusnya di kisaran Rp 8.000-12.000 per kilogram karena gagal panen,” katanya.
Dalam rancangan strategis Kemeterian Pertanian tahun 2010-2014, produksi cabai ditargetkan naik meski tidak signifikan. Pada 2012, produksi cabai ditargetkan 1,24 juta ton, naik menjadi 1,27 juta ton pada 2013, dan pada 2014 sebanyak 1,29 juta ton.
ROSALINA