TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, mengatakan, praktek pelarian aset Batavia Air bukan tidak mungkin terjadi. "Dugaan tersebut tidak bisa dikesampingkan," katanya ketika dihubungi Tempo di Jakarta, Selasa, 5 Februari 2013.
Dugaan pelarian aset ini, kata Dudi, muncul karena aset yang dimiliki Batavia sebenarnya lebih dari Rp 1 miliar. Menurut dia, beberapa fasilitas milik Batavia, seperti simulator serta training center, cukup menjadi bukti bahwa aset Batavia cukup besar. "Pasti lebih dari Rp 1 miliar. Berapa pastinya, sulit diestimasi. Tapi lebih dari itu," katanya.
Setelah pailit, kata Dudi, kurator yang bertanggung jawab terhadap Batavia kini wajib melacak dugaan pelarian aset tersebut. Pemeriksaan secara menyeluruh, kata Dudi, harus dilakukan untuk membuktikan dugaan pelarian aset itu.
Dudi sebelumnya mengatakan, Batavia Air tidak memiliki iktikad untuk memperbaiki kondisi perusahaan. Hal ini disebabkan oleh sikap Batavia Air yang memilih dipailitkan walaupun International Lease Finance Corporation (ILFC) telah menawarkan untuk mencabut gugatannya. "Tapi langkah itu tidak diambil. Kalau diambil, dia bisa cari investor dan menempuh strategi seperti Mandala," katanya pekan lalu.
Dudi menilai Batavia memilih dipailitkan karena tak sanggup menanggung beban utang. Dudi menyayangkan pailitnya Batavia karena maskapai tersebut menguasai 11 persen penerbangan domestik.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus pailit Batavia Air pada Rabu lalu, 30 Januari 2013. Gugatan pailit dilayangkan kepada Batavia Air setelah maskapai tersebut menyewa pesawat berbadan lebar jenis Airbus 330 untuk angkutan haji.
Tapi, selama tiga tahun, Batavia Air belum berhasil mendapat tender angkutan haji. Oleh karena itu, muncul tunggakan pembayaran terhadap pihak yang menyewakan pesawat, yaitu International Lease Finance Corporate (ILFC) yang berkantor pusat di Amerika Serikat.
ANANDA TERESIA