TEMPO.CO, Jakarta - Pemberlakuan pajak bagi Usaha Menegah Kecil paling dirasakan pedagang-pedagang retail. "Kemungkinan mereka yang paling terdampak," ujar Pengamat Pajak, Dani Septriadi, saat dihubungi, Ahad, 13 Januari 2013.
Seperti diketahui, Pemerintah segera merilis Peraturan Pemerintah yang mengatur pajak untuk usaha beromzet Rp 0 - Rp 4,8 miliar. Pengusaha kecil dan menengah akan dikenakan pajak sebesar 1 persen setahun. Seharusnya, sesuai aturan pajak penghasilan, badan usaha kena pajak 25 persen dari profit, namun karena pengusaha kecil menengah belum memiliki pembukuan rinci tentang biaya dan keuntungan bersih, maka Pemerintah menyederhanakan perhitungan.
Tak semua pengusaha beromzet di kisaran itu kena pajak. Hanya yang telah memiliki tempat usaha permanen. Dani menilai tak ada yang salah dengan aturan ini. "Semua harus berkontribusi membayar pajak, jangan sampai ada pembedaan orang yang bisnis dan pegawai," ujarnya. Selama ini, pegawai tak bisa lari dari kewajiban pajaknya lantaran langsung dipotong perusahaan.
Adapun soal kemudahan perhitungan pajak untuk segmen UKM, Dani menjelaskan, hal itu wajar dilakukan. Di negara lain pun ada kebijakan-kebijakan khusus bagi wajib pajak yang sulit untuk dipajaki. "Suatu yang biasa, karena daripada tak bayar sama sekali. Bagi wajib pajak yang bisa lakukan pembukuan silahkan menghitung dengan benar," ujarnya.
Direktorat Jenderal Pajak, menurut Dani, juga bisa mendorong para wajib-wajib pajak dari segmen UKM ini untuk membenahi pembukuan sehingga bisa mengikuti aturan yang normal secara bertahap.
Aturan ini, selain mengenalkan prinsip keadilan dan mendorong penerimaan pajak, juga punya dampak positif lain - memunculkan individu atau kelompok kritis baru yang mengawasi pemanfaatan pajak. "Masyarakat jadi tambah kritis terhadap APBN, ini jadi bagus. Misalnya, buat apa bayar pajak kalau cuma untuk subsidi," katanya.
MARTHA THERTINA