TEMPO.CO, Jakarta - Secara kumulatif dari Januari hingga November 2012, defisit perdagangan Indonesia mencapai US$ 1,33 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, menyebutkan, ekspor berbagai komoditas nilainya mencapai US$ 174,76 miliar, sementara nilai impornya jauh lebih tinggi, yaitu sebesar US$ 176,09 miliar.
Neraca perdagangan untuk bulan November 2012 saja juga masih defisit. Pada bulan itu, selisih ekspor dan impor masih minus US$ 478,4 juta. Perinciannya, nilai ekspor senilai US$ 16,44 miliar, sedangkan nilai impor US$ 16,92 miliar.
"Defisit ini dipicu oleh tingginya impor produk minyak. Padahal, dalam perdagangan gas dan sektor nonmigas, kita surplus," kata Suryamin dalam siaran pers di kantornya, Rabu, 2 Januari 2013.
Tercatat, selama Januari hingga November, ekspor minyak dan gas bumi Indonesia sebesar US$ 34,003 miliar. Perinciannya, ekspor minyak mentah US$ 11,17 miliar, hasil minyak US$ 3,81 miliar, dan gas US$ 19,01 miliar. Sedangkan ekspor produk nonmigas nilainya US$ 140,76 miliar.
Di sisi lain, impor migas pada periode yang sama mencapai US$ 38,84 miliar. Perinciannya, impor minyak mentah US$ 10,01 miliar, hasil minyak US$ 25,99 miliar, dan gas US$ 2,84 miliar. Sedangkan impor produk nonmigas nilainya US$ 137,25 miliar.
Jika diamati, produk hasil minyak saja menyumbang defisit neraca perdagangan sebesar US$ 22,18 miliar. "Bayangkan jomplangnya neraca perdagangan kita jika tak ada ekspor gas dan produk nonmigas," kata Suryamin.
Ditanya apakah besar impor produk hasil minyak itu terserap untuk bahan bakar bersubsidi, Suryamin menjawab, "Sebagian besar iya, karena itu ke Premium."
PINGIT ARIA