TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, mengungkapkan, Bank Indonesia akan terus berupaya mendorong industri perbankan agar makin efisien. "Tingkat efisiensi perbankan kita secara umum belum memuaskan," kata Darmin dalam pertemuan tahunan BI dengan pelaku perbankan (Bankers Dinner), Jumat malam, 23 November 2012.
Tahun lalu, BI merintis langkah awal untuk mendorong efisiensi dengan mewajibkan bank mempublikasikan suku bunga dasar kredit. Kebijakan ini dinilai Darmin sudah menuai hasil, meski belum optimal.
SBDK tercatat turun bertahap. SBDK retail tercatat turun dari 12,1 persen pada September 2011 menjadi 11 persen pada September 2012. SBDK korporasi juga turun dari 10,6 persen menjadi 9,8 persen. Adapun SBDK pemilikan rumah turun dari 11 persen menjadi 10,5 persen dan SBDK non-pemilikan rumah turun dari 12 persen ke 10,7 persen.
“Lapisan masyarakat pelaku UMKM juga masih harus menghadapi suku bunga kredit mikro sekitar 30 persen,” Darmin mengatakan.
Darmin menambahkan, agar optimal, efisiensi harus dilakukan secara menyeluruh. Hal pertama yang disoroti BI yakni sumber pendanaan perbankan yang 91 persen masih terkonsentrasi pada dana-dana jangka pendek, yakni dana simpanan nasabah. "Dari jumlah DPK tersebut, 44 persen dalam bentuk deposito berjangka, di mana sekitar 50 persen di luar skim penjaminan."
Ini berarti, separuh dari dana deposito berjangka memiliki suku bunga di atas bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan, yakni 5,5 persen. Menurut Darmin, besarnya porsi suku bunga deposito yang di atas bunga penjaminan ini dipengaruhi kekuatan oligopolistik sejumlah deposan besar.
Dari sisi pegelolaan dana, Darmin juga menyoroti kecilnya penempatan dana di pasar uang antarbank (PUAB). Hanya sekitar 4 persen dari portofolio aset bank yang ditempatkan di pasar uang antarbank. Padahal, jumlah bank nasional mencapai 120 bank.
"Ekses likuiditas akhirnya hanya terkonsentrasi pada bank-bank tertentu. Sementara bank lainnya harus berkompetisi meraih dana pihak ketiga yang berujung pada tingginya suku bunga dana," ucapnya.
Darmin juga menyoroti rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) industri perbankan. BOPO memang tercatat turun ke level 74,26 persen pada September 2012. Namun, menurut ia, masih banyak bank yang rasio efisiensinya di atas 90 persen. Bahkan, beberapa bank di atas 100 persen.
Menurut Darmin, hal ini terjadi karena masih banyak bank yang kegiatan operasionalnya tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Bahkan, mereka beroperasi di bawah skala ekonomis sehingga tidak efisien. Berdasarkan kajian BI, kata Darmin, untuk bisa mulai beroperasi dalam skala ekonomis, suatu bank setidaknya harus memiliki modal inti Rp 1 triliun.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengungkapkan, pihaknya sepakat masih ada ruang untuk peningkatan efisiensi "Kalau bisa menekan biaya semakin baik,” katanya.
Dari segi BOPO, Sigit menilai idealnya bisa turun ke kisaran 60 persen. Sigit membantah tingginya gaji bankir lokal menjadi penyumbang biaya yang cukup signifikan terhadap operasional bank. "Saya kira tidak. Itu komponen yang tidak besar. Komponen yang tidak menentukan," katanya.
MARTHA THERTINA