TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Bank Negara Indonesia, Ryan Kiryanto, menilai positif ide tim Departemen Pengaturan dan Penelitian Bank Indonesia untuk mendorong penggunaan peringkat dalam penyaluran kredit pada korporasi. Termasuk soal ide mewajibkan 10-25 debitor besar bank agar berperingkat (rated).
“Saya setuju dengan ide itu karena top 10 hingga top 25 debitor sangat menentukan mati-hidupnya bank karena sifatnya yang katastropis," ucap Ryan kepada Tempo, Kamis, 8 November 2012.
Berdasarkan hasil monitoring Bank Indonesia hingga September 2012, mayoritas kredit perbankan merupakan kredit tanpa peringkat. Sebesar 96,6 persen kredit perbankan diberikan kepada korporasi tak berperingkat. Kelompok kantor cabang bank asing (KCBA) dan campuran merupakan kelompok bank dengan penyaluran kredit tanpa peringkat terendah dibandingkan kelompok 14 bank besar dan kelompok bank lainnya.
Tingkat penyaluran kredit tanpa peringkat KCBA dan bank campuran mencapai 88,5 persen. Sedangkan 14 bank besar mencapai 97 persen dan bank lainnya mencapai 98,7 persen. Satu penyebab rendahnya jumlah kredit berperingkat yang disalurkan bank karena rendahnya penyaluran kredit berperingkat kepada korporasi. Hal ini lantaran 51,4 persen kredit perbankan didominasi kredit kepada korporasi.
Dalam aturan permodalan, BI harus mengacu pada Basel II. Pada Basel II, antara lain, diatur soal aset tertimbang menurut risiko (ATMR). BI sudah menerbitkan Surat Edaran BI Nomor 13/6/DPNP untuk mengatur teknis penerapannya.
Bobot risiko kredit ditetapkan berdasarkan peringkat debitor atau berdasarkan persentase tertentu. Besaran ATMR akan digunakan dalam penghitungan modal minimum yang harus disediakan bank.
Ryan setuju jika BI ingin memperbaiki aturan dalam surat edaran terdahulu untuk mendorong efektivitas penggunaan peringkat dalam penyaluran kredit. "BI mau memperbaiki aturan terkait dengan profil risiko debitor, peringkat risiko usaha debitor, dan ATMR, saya setuju banget," ujarnya.
Hanya, ia menambahkan, hal ini sebaiknya disosialisasikan dulu ke industri perbankan. Ini agar perbankan bisa paham dan menyiapkan segala sesuatunya secara baik, tertib, dan terarah.
Ryan menilai, dengan aturan ini, pelaku usaha akan terdorong untuk terus memperbaiki rating-nya. "Agar mendapat bunga kredit yang rendah karena risk premiumnya kecil, menjadi pilihan kreditor," katanya. Dengan rating yang lebih baik, Kiryanto menilai kinerja operasional perusahaan juga bisa semakin baik.
Penyaluran kredit kepada korporasi berperingkat baik juga menguntungkan bank. "Pembiayaan ke sektor korporasi dengan rating baik akan menahan ancaman NPL, menyehatkan kualitas kredit, menekan biaya pencadangan atau provisi, dan mendorong kinerja bank lebih baik. Ujung-ujungnya, modal bank akan tetap sehat dan kuat karena tidak mudah tergerus untuk membentuk provisi," kata Ryan.
Tim Departemen Pengaturan dan Penelitian Bank Indonesia memiliki beberapa ide untuk mendorong penggunaan peringkat dalam penyaluran kredit. Antara lain, penetapan bobot risiko yang lebih besar untuk perusahaan tak berperingkat (unrated) hingga kewajiban bagi 10-25 debitor besar untuk berperingkat (rated).
MARTHA THERTINA
Berita lain:
Alasan Pengusaha Enggan Naikkan Upah Buruh
Demo Buruh, Bata Bakal Hengkang dari Indonesia
Dahlan Enggan Sebut Tambahan Nama Pemeras BUMN
Obama Menang, Harga Minyak Diprediksi Stabil
Obama Terpilih, Ini Harapan Bursa Indonesia