TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi publik dari Universitas Atma Jaya, Djoko Setijowarno, menyatakan pembangunan monorel harus dikaji dari segi teknis dan finansial. "Monorel lebih cocok untuk transportasi kawasan wisata," katanya melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin, 22 Oktober 2012.
Ia menyebut monorel di Singapura sebagai contoh. Di Singapura terdapat monorel yang menghubungkan kawasan wisata Pulau Sentosa dengan daratan Singapura. Penumpang dikenai tarif Sing$ 3 untuk jarak kurang dari 3 kilometer.
Djoko menuturkan, kota-kota di dunia tidak menganjurkan pembangunan monorel sebagai angkutan massal perkotaan. Kecuali, untuk kota yang menjadi daerah wisata, seperti Las Vegas, Amerika Serikat. “Monorel di Malaysia sepanjang 9 kilometer juga saat ini tidak dikembangkan lagi,” Djoko mengatakan.
Djoko menyebut beberapa faktor yang membuat monorel tidak ideal sebagai angkutan massal perkotaan. Kapasitas monorel terbatas, kecepatannya pun rendah. Selain itu, biaya pembangunan monorel masih terhitung mahal.
Djoko menambahkan, untuk alternatif sarana transportasi bisa dibangun light rail transit (LRT). PT Hutama Karya membatalkan rencana pembangunan jalan tol Cibubur-Senayan. Ia mengatakan perusahaan tersebut memilih untuk membangun LRT. "Ada yang usul untuk jaringan busway juga. Tinggal itung-itungan keunggulan masing-masing," ucapnya.
Djoko mengatakan monorel rencananya akan menggunakan produk PT Industri Kereta Api (INKA), yang belum teruji keandalannya. “Senarnya Jakarta telah memiliki monorel, yaitu Aeromovel yang ada di Taman Mini Indonesia Indah.”
MARIA YUNIAR