TEMPO.CO, Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat menilai rencana divestasi PT Inalum (Persero) oleh pemerintah dengan menunjuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai pengelolanya dinilai tidak tepat. Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartanto mengatakan PIP tidak mempunyai pengalaman dalam menangani bisnis alumunium smelter.
“Inalum merupakan sektor usaha yang sangat kompetitif di pasar, sehingga perlu pemegang saham aktif yang mengerti lingkup usaha sektor alumunium,” kata Airlangga saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Oktober 2012.
Baca Juga:
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana mengambil alih aset PT Inalum yang nilainya mencapai Rp 7 triliun. Pada anggaran 2012, pemerintah menganggarkan Rp 2 triliun untuk Inalum. Namun, hingga saat ini anggaran belum cair. Sementara pada anggaran 2013, pemerintah mengajukan anggaran Rp 5 triliun. Dana itu pun belum mendapat persetujuan Dewan.
Kamis lalu, 11 Oktober, Badan Anggaran DPR telah mengambil kesepakatan terkait dengan draf Rancangan Undang-Undang APBN 2013. Namun, pasal 18 tentang penunjukan PIP dalam pengambilalihan PT Inalum masih belum disepakati dan akan dibahas dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan, 16 Oktober 2012 mendatang.
Pemilikan saham secara portofolio oleh Kementerian Keuangan, menurut Airlangga, tidak akan strategis, karena Kementerian Keuangan sebaiknya berkonsentrasi pada sektor keuangan negara dan ekonomi makro. Menurut dia, jika pengambil-alihan PT Inalum tanpa disertai rencana bisnis yang tepat, maka akan kalah bersaing dengan industri yang akan di bangun di Kalimantan Timur dan Malaysia.
Baca Juga:
“Kemenkeu jangan mengulangi kesalahan dengan mengelola BUMN sendiri seperti Geodipa yang sulit bersaing di pasar dan memerlukan penyertaan modal negara setiap tahun,” ucapnya.
Menurut Airlangga, opsi yang bisa ditempuh pemerintah dalam divestasi PT Inalum adalah dengan menjadikan PT Inalum sebagai badan usaha milik negara atau mengundang investor strategis yang bersedia membangun alumunium smelter sebagai bahan baku strategis PT Inalum. “Seharusnya disoroti juga periode Yendaka saat Inalum mengalami kerugian terus.”
Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Harry Azhar Azis, mempertanyakan keuntungan jika pemerintah mengambil alih PT Inalum. Hingga saat ini pemerintah belum menjelaskan secara terperinci rencana tersebut. Dia juga mempertanyakan apakah PT Inalum akan selamanya dikelola oleh PIP seperti usulan pemerintah.
"Kami belum tahu isinya seperti apa, bagaimana cost benefit-nya? Bagaimana pengelolaannya? Apakah akan selamanya oleh PIP atau hanya sementara? Ini harus clear dulu," kata Harry.
Sementara Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Tamsil Linrung mengatakan rencana mengambil alih Inalum dengan menunjuk PIP merupakan salah satu isu krusial yang hingga saat ini belum ditemukan jalan keluarnya. “Harus dinilai aspeknya. Inalum selama ini merugi terus,” katanya.
Tamsil menambahkan Badan Anggaran menyerahkan pembahasan Inalum ke Komisi XI dan Komisi VI DPR. Namun dia menegaskan pembelian Inalum dengan menggunakan dana dari APBN masih memungkinkan jika pemerintah dapat menjelaskan segala keuntungan dan risiko secara transparan.
Untuk diketahui, proyek Inalum merupakan hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Investor asal Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Alumunium Co. Ltd (NAA). Kerja sama yang dimulai sejak 1975 ini akan berakhir pada 2013 mendatang. Pemerintah saat ini menguasai 41,12 persen saham Inalum. Sementara sisanya dikuasai oleh Nippon Asahan Alumunium.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Herry Purnomo, menyatakan pihaknya akan membahas terlebih dahulu mengenai sikap DPR. "Belum ada yang bisa dijelaskan. Kami akan bahas dulu dan nanti dibawa ke rapat kerja."
ANGGA SUKMA WIJAYA