TEMPO.CO, Jakarta - Euforia dukungan ECB untuk mengatasi krisis utang Eropa membuka ruang bagi rupiah untuk melanjutkan penguatan dan menjauh dari level 9.500 per dolar AS. Terdepresiasinya dolar AS terhadap mata uang dunia, Jumat lalu, akan direspons positif oleh pelaku pasar Asia awal pekan ini.
Menguatnya rupiah ke 9.469 per dolar AS di transaksi non-deliverable forward (NDF) bisa memicu apresiasi.
Jumat lalu, rupiah ditutup di level 9.494 per dolar AS, yang berarti melemah 36 poin (0,38 persen) dibanding posisi pada pekan sebelumnya pada 9.458 per dolar AS. Rupiah pekan lalu sempat tertekan di atas level 9.500 per dolar AS karena mencuatnya kembali kecemasan Yunani akan keluar dari zona Eropa.
Analis Treasury Research Bank BNI, Klara Pramesti, mengatakan, pernyataan Kepala Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi, yang akan sekuat tenaga menyelamatkan euro, membawa dampak positif bagi rupiah.
Turunnya imbal hasil obligasi Spanyol yang cukup signifikan menjadi 6,74 persen dari sebelumnya di atas 7 persen, serta merosotnya yield Italia ke 5,96 persen, mampu meredakan ketakutan pasar. “Jika yield kedua negara tersebut terus bergerak naik, bisa berpotensi mengalami gagal bayar,” ujar Klara.
Pasar akan mencermati data-data ekonomi penting serta penetapan suku bunga bank sentral Eropa dan AS yang akan dirilis pekan ini. Dari domestik, meningkatnya permintaan investor terhadap dolar AS pada akhir bulan tidak terlalu mempengaruhi pergerakan rupiah karena Bank Indonesia akan selalu berada di pasar.
Klara memprediksi rupiah masih akan bergerak konsolidatif dengan kecenderungan menguat di kisaran 9.450-9.500 per dolar AS. “Spekulasi mencuatnya isu pelonggaran moneter ketiga (QE3) menjelang pertemuan petinggi The Fed pekan ini berpotensi mengerek rupiah.”
PDAT | M. AZHAR | VIVA B. K