TEMPO.CO, Jakarta - Merosotnya nilai tukar euro ke level terendah, di bawah US$ 1,22, dalam dua tahun terakhir menjadi ganjalan bagi penguatan rupiah awal pekan ini.
Pemerintah daerah Valencia yang meminta bantuan ke pemerintah pusat Spanyol akibat krisis utang Eropa membuat cemas pasar. Imbal hasil (yield) obligasi Spanyol kembali melonjak di atas 7 persen, sehingga euro merosot ke US$ 1,2158.
Ketidakpastian krisis utang di Eropa, ditambah memburuknya ekonomi dunia, telah meneguhkan posisi safe haven dolar AS di pasar uang. Jumat pekan lalu, rupiah ditutup di level Rp 9.458 per dolar AS atau melemah 10 poin (0,1 persen) dibanding posisi pekan sebelumnya.
Tingginya ekspektasi pelaku pasar akan adanya kebijakan pelonggaran moneter ketiga (QE3) dari Bank Sentral AS seiring anjloknya data retail AS sempat mengerek euro dan mata uang Asia. Namun, tidak adanya sinyal dari Gubernur The Fed Ben Bernanke bahwa pihaknya akan segera mengambil kebijakan lanjutan membuat peluang penguatan rupiah kembali redup.
Analis dari Treasury Research Bank BNI, Apressyanti Senthauri, memprediksi pekan ini fokus investor kembali pada ekspektasi stimulus dari bank-bank sentral dunia. “Berbagai prospek ekonomi negatif belakangan ini mendorong para petinggi keuangan Eropa memberikan stimulus lanjutan.”
Pekan ini pergerakan rupiah cenderung menguat. Di awal pekan, biasanya investor mencermati data ekonomi pekan lalu sambil memperhatikan data yang akan dilansir pekan ini, seperti data penjualan rumah baru di AS. "Jika ekspektasi stimulus direspons bank-bank sentral dunia, rupiah bisa melanjutkan apresiasi di kisaran 9.430-9.450 per dolar AS," kata Yanti.
PDAT | M. AZHAR