TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan rupiah masih lesu akibat perlambatan ekonomi global. Pasar masih berharap pada pelonggaran moneter dari Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Jumat lalu, rupiah ditutup di level Rp 9.448 per dolar AS, yang berarti melemah 43 poin (0,45 persen) dibanding pekan sebelumnya, Rp 9.405. Rupiah beberapa kali sempat menyentuh level 9.500, tapi Bank Indonesia berhasil mengawal rupiah di koridor Rp 9.400-an per dolar AS.
Penurunan data ekonomi global telah mendorong investor menghindari aset yang berisiko dan mencari aman dengan memegang dolar AS. Adapun penurunan ekonomi global, di antaranya penurunan peringkat kredit Italia oleh Moody’s dan melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina triwulan II menjadi 7,6 persen, level terendah sejak 2009.
Pekan ini investor kembali mencermati data-data penting dunia, seperti angka penjualan retail AS dan pidato Gubernur The Fed, Ben Bernanke, yang akan menyampaikan testimoni mengenai masalah keuangan semester I di depan kongres.
“The Fed masih menjadi perhatian pasar. Sebab, investor saat ini berharap bank sentral akan mengambil kebijakan pelonggaran moneter lanjutan,” ujar Yohanes Ginting, analis dari PT Monex Investindo Futures.
Jika dilihat dari kondisi ekonomi global dan data ekonomi AS yang cenderung negatif belakangan ini, sebenarnya langkah yang diambil The Fed cukup beralasan. Muncul spekulasi di kalangan investor bahwa kebijakan pelonggaran moneter akan diambil dalam waktu dekat.
Dengan kondisi minim sentimen positif saat ini, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran 9.450-9.520 per dolar AS. “Rupiah berpotensi menguat apabila Cina kembali mengeluarkan stimulus untuk menggenjot perekonomiannya dan Bernanke memberi sinyal pelonggaran moneter ketiga,” Yohanes memaparkan.
PDAT | M. AZHAR