TEMPO.CO, Bogor - Rencana Bank Indonesia mengeluarkan aturan kepemilikan saham mayoritas pada akhir Juli ini diprediksi menimbulkan potensi komplikasi dengan aturan yang sudah berlaku sebelumnya.
Kepala Ekonomi BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan selama ini batas maksimal kepemilikan saham di Indonesia yang mencapai 99 persen ini berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999.
"Bank Indonesia memberanikan diri melakukan revisi aturan. Mudah-mudahan ini tidak menimbulkan komplikasi secara hukum karena peraturan pemerintahnya belum dicabut," ujar Ryan dalam diskusi wartawan di Sentul, Bogor, Senin 25 Juni 2012.
Dia mengatakan, dalam hierarki produk hukum, peraturan pemerintah memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun, dalam ranah hukum pula, kebijakan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan kebijakan yang bersifat umum.
"Jadi, sektor perbankan dikategorikan bidang khusus, maka boleh mengabaikan ketentuan lain yang sifatnya umum," katanya.
Ryan pun menilai wajar dengan aturan yang akan ditentukan Bank Indonesia, yaitu membatasi kepemilikan saham mayoritas untuk lembaga keuangan termasuk bank hingga 40 persen. Dengan ini, otoritas perbankan sudah mencoba merespons keinginan pasar.
Dari kaca mata kalangan perbankan, angka kepemilikan 35 hingga 40 persen saham masih dapat diterima. Jika menyentuh 49 persen pun dinilai terlalu tinggi. "Ini dinilai comparable dibandingkan batas kepemilikan saham di negara lain seperti Australia, Korea Selatan, dan Malaysia yang rata-rata sekitar 30 persen," katanya.
Supaya bank-bank tidak kaget dengan aturan baru, menurutnya, Bank Indonesia perlu melakukan sosialisasi agar seluruh pemangku kepentingan dapat dipersiapkan dengan baik.
Untuk pemegang saham bank yang berasal dari dalam negeri, dia menilai, akan relatif aman dan tidak bergejolak. Namun lain hal dengan pemegang saham asing. Jika sosialisasi tidak berjalan baik, bisa jadi mengurangi minat beli calon investor asing terhadap bank nasional di Indonesia yang sebetulnya punya kinerja yang baik dan rekomendasi laik beli. "Karena itu, titik-titik kritis pada masa sebelum implementasi atau masa transisi," ujar dia.
Jika peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku surut, kata dia, kebijakan ini tidak akan menimbulkan gejolak. Namun, sebaliknya. Jika berlaku surut (retroaktif), berarti calon investor baru pun bisa mengukur dirinya. "Ini untuk mengukur berapa banyak dia bisa membeli," ia menuturkan.
SUTJI DECILYA