TEMPO.CO, New York - Harga minyak mentah berjangka ditutup dibawah US$ 84 per barel Jumat lalu, yang berarti merosot 8 persen dalam sepekan karena data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dirilis cukup mengecewakan dan dibawah perkiraan para analis.
Krisis utang Eropa dan melambatnya ekonomi Cina dapat mengakibatkan turunnya permintaan energi telah memangkas harga minyak ke level terendahnya sejak 7 Oktober lalu.
Harga minyak jenis Sweet Crude, untuk kontrak bulan Juli, Jumat lalu kembali turun US$ 3,3 (3,8 persen) menjadi US$ 83,23 per barel di bursa komoditas New York.
Turunnya harga minyak mentah dunia membuat harga bensin domestik juga turun mulai awal bulan ini. Untuk jenis Pertamax (Ron 92) di pompa bensin milik Pertamina harganya turun Rp 450 (4,6 persen) menjadi Rp 9.250 per liter sejak 1 Juni lalu. Demikian pula bensin untuk jenis Super (Ron 92) di pompa bensi Shell, juga turun Rp 500 (5,1 persen) menjadi Rp 9.250 per liter.
“Harga minyak dan harga bahan energi lainnya sepanjang minggu ini turun cukup substansial karena banjirnya berita negatif serta ketidakpastian ekonomi global dalam waktu dekat ini,” kata Tariq Zahir, manajer dari Tyre Capital Advisor. Data tenaga kerja yang lebih rendah dari perkiraan, pelambatan di Cina membuat semua harga komoditas kembali meluncur, kecuali emas berhasil menguat.
Data anggka penggajian di Amerika pada bulan Mei kemarin hanya tumbuh 69 ribu jiwa, jauh dibawah perkiraan analis seberlumnya sebesar 165 ribu tenaga kerja. Ini juga merupakan penambahan terkecil dalam satu tahun terakhir.
Indeks manufaktur AS yang dirilis Institute for Supply Management juga turun menjadi 53,5 di bulan kemarin dibandingka bulan sebelumnya sebesar 54,8. Dan manufaktur Cina yang dirilis pekan ini juga menunjukkan penurunan yang tajam membuat para analis memperkirakan permintaan terhadap minyak akan kembali menurun.
“Data tenaga kerja AS cukup mengecewakan,” ujar Michael Fitzpatrick, pemimpin redaksi di Kilduff Report. “Hal ini meningkatkan kekhawatiran di pasar,” ucapnya.
Meskipun sinyal suramnya perekonomian global cukup kuat, namun ada beberapa faktor yang dapat menaikkan harga minyak dalam waktu dekat. “Secara teknis, saat ini harga minyak memang berada dalam kondisi jenuh jual, sehingga membuka pleuang untuk berbalik arah naik,” kata Zahir.
Loyonya ekonomi AS justru membangkitkan harapan akan adanya stimulus lanjutan (QE 3) dari bank sentral (The Fed). Sehingga dapat memberikan tekanan terhadap dolar AS. Selain itu, perhatian investor juga tertuju pada pembahasan masalah nuklir Iran yang akan berlangsung akhir bulan ini.
Sepanjang bulan ini harga minyak mentah telah terpangkas 17 persen, penurunan bulanan terbesarnya sejak Desember 2008.
Indeks dolar AS terhadap mata uang utama dunia turun ke level 82,756 dari penutupan sehari sebelumnya di 83,035.
Harga gasoline juga turun 7 sen (2,4 persen) menjadi US$ 2,66 per galon, dan minyak pemanas untuk antaran bulan Juli juga susut 8 sen (2,8 persen) menjadi 2,63 per galon.
Harga gas alam mencatat penuran terbesar pada bahan energi ini, yakni 10 sen (4 persen) menjadi US$ 2,33 per mBtu. Sehingga dalam sepekan harga gas alam turun 9,3 persen.
MARKETWATCH/ VIVA B. KUSNANDAR