TEMPO.CO, Jakarta - Kekhawatiran terhadap perkembangan di Eropa, terutama di Yunani, membuat dolar Amerika Serikat menjadi safe haven bagi para investor sebagai tempat mengamankan portofolio investasinya.
Antisipasi dari kemungkinan terburuk bila Yunani akhirnya harus keluar dari Uni Eropa membuat dolar semakin digdaya. Ditambah lagi permintaan dolar AS di pasar domestik yang cenderung meningkat membuat rupiah sempat terpuruk dan di pasar non-deliverable forward (NDF) bergerak hingga di atas 9.515 per dolar AS.
Sepanjang pekan lalu rupiah melemah 210 poin (2,3 persen) dan ditutup di level 9.454 per dolar AS. Tingginya tekanan dari faktor eksternal membuat rupiah ditutup di level terlemah sejak 29 Desember 2009.
Liburnya pasar Amerika dan Eropa pada hari ini sedikitnya dapat meredakan tekanan dolar AS, dan pergerakan rupiah akan bergantung pada tren pasar finansial Asia. Tidak tertutup kemungkinan rupiah mampu berbalik arah menguat seiring dengan masuknya Bank Indonesia ke pasar.
Pengamat pasar uang dari PT Monex Investindo Futures, Apelles R.T. Kawengian, menjelaskan, terus memburuknya situasi di kawasan Eropa memicu superioritas dolar AS terhadap mata uang utama dunia terus membebani bursa saham dan mata uang regional.
Dia memprediksi rupiah masih akan mengalami tekanan dan batas atas rupiah terdekat berada di level 9.550 per dolar AS. Selama kondisi di Eropa belum ada penyelesaian, tekanan rupiah belum akan berakhir.
Mata uang regional seperti dolar Australia, rupee India, ringgit Malaysia, serta won Korea Selatan juga mencapai level terlemah dalam beberapa bulan terakhir. “Jadi wajar saja bila rupiah juga melemah cukup dalam pada akhir pekan lalu,” kata Apelles.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR