TEMPO.CO, Jakarta - Masih tingginya ketidakpastian di kawasan Eropa, beragamnya data ekonomi Amerika Serikat (AS), serta sinyal pelambatan di Cina membuat tekanan dolar terhadap rupiah masih kuat.
Namun, upaya yang cukup serius dari Bank Indonesia (BI) untuk menjaga mata uangnya agar tidak berfluktuasi terlalu tajam membuat rupiah berhasil ditutup di bawah level 9.200 per dolar Amerika Serikat (AS).
Nilai tukar rupiah di pasar uang Jakarta hari ini ditutup menguat 60 poin (0,65 persen) ke level 9.198 per dolar AS. Meskipun di pasar Non Deliverable Forward (NDF) nilai tukar rupiah masih berada di level 9.250 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Lindawati Susanto mengungkapkan, mencuatnya kembali kecemasan terhadap perekonomian kawasan Eropa ditambah lagi masalah politik membuat dolar AS tetap menjadi safe haven bagi para pelaku pasar. “Jatuhnya harga saham dan obligasi pemerintah di pasar finansial domestik yang mengindikasikan ketakutan investor juga turut menyulut melemahnya rupiah terhadap,” paparnya.
Meningkatnya permintaan dolar AS di pasar domestik untuk keperluan rutin dan melemahnya euro membuat greenback (sebutan untuk dolar) cenderung menguat. Di tengah banyaknya ketidakpastian mereka memilih memegang posisi dolar AS.
Meningkatnya kembali imbal hasil obligasi di zona Eropa, Linda melanjutkan, menjadi pertanda bahwa krisis utang kawasan belum berakhir dan diperkirakan semakin dalam sehingga berpotensi menekan mata uang tunggal dan memicu apresiasi dolar.
Mata uang regional sore ini kembali melemah terhadap dolar AS. Dolar Singapura terdepresiasi tipis 0,06 persen, won Korea Selatan 0,43 persen, Peso Philipina 0,38 persen, ringgit Malaysia 0,11 persen, serta bath Thailand 0,16 persen.
Di sisi lain, indeks dolar AS terhadap enam mata uang utamanya sore ini pukul 17.29 WIB kembali menguat 0,88 poin (0,11 persen) ke 80,345.
VIVA B. KUSNANDAR