TEMPO.CO, Jakarta - Standard & Poor’s yang menunda masuknya Indonesia ke level investment grade (layak investasi) serta antisipasi pertemuan Dewan Gubernur The Fed membuat para pelaku pasar lebih merasa nyaman memegang dolar Amerika Serikat (AS).
Head of Treasury Bank BNI Tbk, Nurul Eti Nurbaeti, menjelaskan rupiah yang ditransaksikan hingga di atas level psikologis 9.200 tidak terlepas dari tertundanya Indonesia masuk level layak investasi dari versi Standard & Poor’s. “Gagalnya Indonesia masuk layak investasi versi S&P membuat sebagian investor merasa bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam mata uang rupiah,” ucapnya.
Hal ini terlihat dari investor asing yang cenderung keluar dari bursa saham serta turunnya minat mereka terhadap obligasi pemerintah, sehingga harganya cenderung turun dan imbal hasilnya naik.
Di pasar uang hari ini rupiah ditutup stagnan sama dengan penutupan kemarin di 9.199 per dolar AS. Kuatnya tekanan, baik dari faktor eksternal maupun domestik, membuat rupiah sempat melemah hingga ke 9.209 per dolar AS dalam transaksi hari ini.
Bank Indonesia (BI) yang mengendurkan penjagaanya di pasar membuat pergerakan rupiah sesuai dengan permintaan pasar. Belum adanya aliran dana yang masuk ke pasar finansial domestik serta meningkatnya permintaan dolar menjelang akhir bulan membuat rupiah terus mencoba menembus level 9.200 per dolar AS.
Antisipasi terhadap hasil keputusan The Fed nanti malam membuat pasar bersikap wait and see. Suku bunga The Fed bisa dipastikan masih akan dipertahankan di level terendahnya 0,25 persen. Namun, dia melanjutkan, pasar menunggu pandangan ekonomi terkait dengan memburuknya data ekonomi AS belakangan ini. “Investor menunggu adanya sinyal stimulus (QE) lanjutan,” ujar dia.
VIVA B. KUSNANDAR